Pengantar
Berbicara
tentang militerisme khususunya di Indonesia tidak pernah terlepas dari sejarah
kekuasaan minoritas terhadap mayoritas pada masa Orde baru yang berlangsung
selama 32 tahun. Kehidupan orde baru, penuh ditandai dengan makin berperannya
golongan tentara. Menurut sejarahnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berasal
dari rakyat, merupakan unifikasi-unifikasi kelaskaran rakyat bersenjata yang
ikut berjuang menuju/mempertahankan Indonesia Merdeka. Dalam kesejarahannya, Militer
atau Tentara Nasional Indonesia dijelaskan pula bahwasannya terdapat banyak
pemuda-pemuda indonesia yang kala itu secara formal masuk dalam pendidikan
militer. Mereka adalah yang secara khusus memilih karier hidupnya sebagai
tentara profesional, yaitu medapat pendidikan kemiliteran dalam KNIL dan PETA.
Setelah kemerdekaan tercapai, mereka terlebur dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR)
yang kemudian berganti nama menjadi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945, yang mana
hari tersebut diperingati hingga sekarang sebagai hari Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita menyimak
terlebih dahulu pengertian dari militer, militeristik, militerisasi dan
militerisasi itu sendiri.[1]
Istilah
militer sebenarnya sudah lama menjadi istilah populer dalam wacana publik,
paling tidak di kalangan aktivis yang anti Dwifungsi. Militer dalam bahasa
inggris “Military” adalah the soldiers, the army atau the arm force, yang dalam
bahasa indonesia dapat di artikan sebagai prajurit atau tentara seperti
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Marienir serta Angkatan Laut. Militer adalah
angkatan bersenjata yang biasanya terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang seperti
yang disebut di atas,[2]
yang secara institusional atau secara keorganisasian berperang sebagai alat
pertahanan keamanan di suatu negara bila terjadi ancaman terhadap kedaulatan
negara. Selain itu, militer juga berperan penting dalam melindungi masayarakat
dari tindakan kriminal atau ancaman yang menganggu kehidupan sosial mereka. Militer
mulai dikenal semenjak manusia mengenal kehidupan berkelompok dan
bermasyarakat. Di mana militer yang pada
awalnya adalah sekelompok manusia yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
terhadap keamanan dan perlindungan terhadap manusia yang lainnya didalam satu
wilayah dari bahaya dari luar maupun dari dalam
Militeristik adalah suatu bentuk kegiatan,
aktivitas atau usaha yang mempunyai dan mengandung sifat militer (kekerasan).
Militeristik identik dengan premanisme yang sampai hari ini masih banyak terjadi
dilingkungan sekitar kita, misalnya penyelesaian kasus atau konflik dengan
jalan kekerasan (memukul atau menendang) .
Militerisasi
merupakan suatu proses yang mengarah pada militerisme, yaitu penyebaran
doktrin-doktrin militer kepada masyarakat sipil yang berkaitan langsung dengan
dunia kekerasan dan watak militer. Militerisasi melalui dwi fungsi ABRI adalah
“monster“ bagi masyarakat politik yang merusak kompetisi, partisipasi dan
liberalisasi. Militerisasi yang ada diIndonesia dilakukan oleh militer dengan
sistematik dan terencana.
Militerisme
adalah suatu paham yang mengagung-agungkan militer. Militerisme merupakan
“kanker“ bagi masyarakat sipil yang mengancam demokrasi karena watak dan sifat
militer sudah melekat pada masyarakat sipil. Secara tegas, Martin Shaw (1993)
merumuskan militerisme sebagai pengaruh organisaasi, nilai-nilai, ide-ide, dan
perilaku militer kedalam kehidupan struktur sosial masyarakat.[3]
Seperti
yang disebutkan di awal, bahwa militer di indonesia mempunyai sejarah yang
cukup panjang. Berdasran sejarahnya militer Indonesia merupakan hasil didikan
para kolonial yang menjajah Indonesia kala itu. Sebab pada awal revolusi,
Pemerintah Indonesia tidak membentuk tentara resmi. Elemen pembentukan BKR,
TKR, TRI hingga TNI dibangun dengan tiga unsur utama yang masingmasing memiliki
latar belakang yang berbeda yakni mantan anggota KNIL, mantan anggota PETA, dan
laskar rakyat.
A. KNIL
(Tentara kerajaan di Hindia Belanda)
Dalam
masa sebelum revolusi, peranan kaum pribumi dalam bidang kemiliteran tidaklah
terlalu menonjol. Orang-orang indonesia masuk kedalam dinas ketentaraan
kolonial tidak lebih sebagai prajurit atau perwira rendahan. Ini dimungkinkan
khususnya setelah Berakhirnya perang Jawa, dimana dengan cara licik perlawanan
Pangeran Diponegoro diakhiri. Perang yang berlangsung dari 1825-1830 tersebut
telah membuat Belanda menerima pelajaran penting, Hindia Belanda harus memiliki
pasukan yang menjaga keamanan dan ketertiban Hindia Belanda. Gubernur Jenderal
saat itu, Van Den Bosch segera membentuk pasukan bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur), Belanda mengontrak
orang orang mantan serdadu disersi dari eropa seperti Jerman, Belgia, Swiss,
Perancis serta orang orang Afrika barat (Ghana) untuk dijadikan serdadu yang
handal di wilayah jajahan hindia timur.
Pada tahun 1836, raja Willem I memberikan predikat koninklijk untuk
kesatuan tentara hindia timur ini, namun predikat tersebut tidak pernah
digunakan selama satu abad. Kemudian pada tahun 1933 barulah nama pasukan
tersebut diubah menjadi Koninklijk
Nederlandsche Indische Leger (KNIL) yang beranggotakan serdadu belanda,
tentara bayaran dan sewaan dari negara lain serta warga pribumi (Indonesia)
yang ditugaskan di wilayah hindia timur (Indonesia) pada zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)[4]
. Orang Indonesia menyebutnya tentara kompeni atau kumpeni, sosok tentara
bayaran yang rela mengkhianati bangsa sendiri. Agar pribumi tidak memiliki
persatuan, maka Belanda membagi KNIL pribumi berdasarkan suku; Suku Jawa,
Sunda, Ambon dan Manado. Selain itu bangsa pribumi juga tidak pernah menempati
pangkat tertinggi, mereka selalu ditempatkan dalam pangkat terendah.
B. PETA.
Ketika
Jepang mulai menduduki wilayah nusantara pada tahun 1942. Jepang
mendirikan Pembela Tanah Air (PETA)
Untuk mempertahankan tanah jajahannya. Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau
PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa
pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober
1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima
Tentara Ke-16 yang berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk
membela Pulau Jawa dengan status[5] :
1. Kesatu,
Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
2. Kedua,
Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
3. Ketiga,
Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung
dibawah Panglima Tentara Jepang
4. Keempat,
Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban
mempertahankan wilayahnya (syuu)
5. Kelima,
Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
PETA memperoleh pendidikan dasar
infanteri dan indoktrinisasi ala samurai untuk menanamkan semangat yang tinggi
orang-orang Indonesia diangkat menjadi komandan pleton dan kompi, bahkan
jabatan komandan batalyonpun diisi oleh orang-orang Indonesia dari golongan
elit, komandan batalyon diangkat oleh pertama-tama tidak karena kualitas
potensial mereka sebagai pemimpin militer melainkan berdasarkan pertimbangan
politik. Kebanyakan dari mereka adalah pimpinan politik yang berpengaruh,
sehingga pengangkatan mereka ke posisi militer yang lebih tinggi diharapkan
akan mendorong keinginan para pemuda dari daerah asal mereka untuk menjadi
anggota pasukan itu . PETA memperoleh
pendidikan dasar infanteri dan indoktrinisasi ala samurai untuk menanamkan
semangat yang tinggi orang-orang Indonesia diangkat menjadi komandan pleton dan
kompi, bahkan jabatan komandan batalyonpun diisi oleh orang-orang Indonesia
dari golongan elit, komandan batalyon diangkat oleh pertama-tama tidak karena
kualitas potensial mereka sebagai pemimpin militer melainkan berdasarkan
pertimbangan politik. Kebanyakan dari mereka adalah pimpinan politik yang
berpengaruh, sehingga pengangkatan mereka ke posisi militer yang lebih tinggi
diharapkan akan mendorong keinginan para pemuda dari daerah asal mereka untuk
menjadi anggota pasukan itu[6].
Selain PETA colonial Jepang juga membentuk HEIO yaitu pasukan kecil yang
digunakan untuk tugas penjagaan. Pasuka ini juga dibekali pendidikan yang
hampir sama dengan PETA.
Selam berdirinya PETA tidak pernah sepi
akan pemberontakan yang dilakukan oleh kadet peta itu sendiri terhadap
pemerintah Jepang yang dianggap sangat represif terhadap kadet-kadet PETA.
Pemberontakan ini dimulai di Blitar pada 14 Februari 1945 dibawa komano
Supryadi dengan para coleganya seperti Dr. Ismail, Mudari, Suwondo dll. Motif
utama dalam pemberontakan ini adalah munculnya kemarahan dan ketidak puasan
kadet Peta terhadap colonial Jepangkarena mereka sering melihat kenyataan dalam
kehidupan masyarakat terdapat adanya penderitaan dimana-mana, terutama di
sekitar tugas mereka.[7]
C. Lasykar.
Setelah Peta duilucuti dan dibubarkan
pada tahun 1944, maka republik yang masih muda itu, tidak mempunyai pasukan
bersenjata untuk mempertahankan diri teradap musuh dari luar maupun dari dalam.
Para pemuda yang melihat kekosongan ini, tidak tinggal diam dan langsung turun
tangan dengan membentuk organisasi-organisasi perjuangan yang dikenal dengan
nama lasykar, Mereka adalah para pemuda yang sama sekali tidak pernah
mendapatkan pendidikan militer sebelumnya. laskar-laskar inipun didalamnya
sangat majemuk, sebagian dari mereka memiliki latar belakang keagamaan yang
kuat dan atas dasar itu membentuk laskar perjuangan hizbullah (didikan
pesantren), sementara di lain pihak ada yang mendasarkan diri pada ideology
sosialis seperti Pesindo(Pemuda Sosialis Indonesia). Selain itu banyak
organisasi yang beranggotakan pemuda-pemuda daerah walaupun identitas nasional mereka
tidak diragukan. Mereka tidak memiliki perlengkapan militer yang lengkap, tidak
terlatih dan tidak terdisiplin, juga tidak memiliki
pemimpin yang berpengalaman. Mereka juga saling bentrok satu sama lain yang
disebabkan karena perbedaan ideologis. Bahkan sering berselisih paham dengan
pemerintah Soekarno dan tidak mau menerima perintah dari pemimpin nasional yang
tidak bersikap tegas dalam menentang pasukan-pasukan sekutu dan belanda yang
bagi mereka sebagai penghalang semangat mereka untuk bertindak.[8]
Dalam keadaan seperti ini maka penegakkan hukum dan kewibawaan sulit
dilaksanakkan, sehingga mengharuskan pemerintah untuk menciptakan sebauah
pasukan bersenjata yang dapat menjaga keamanan dalam negeri sehingga penegakkan
hukum dan kewibawaan dapat dilakukan. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI
(Panitia Pelaksana Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus
1945 kemudian di transformasikan menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)
pada tanngal 29 Agustus 1945 karena di anggap sebagai buah hasil ciptaan
pemerintah jepang, mengumumkan terbentuknya BPKKP (Badan Penolong Keluarga
Korban Perang) yang di dalamnya sudah mencakup Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Fungsi BKR dalam UU pembentukannya, secara samar-samar disebutkan sebagai memelihara keamanan bersama dengan rakyat dan
badan-bada yang bersangkutan. Pada saat itu, Status BKR bukan Militer dan
semata-mata semacam hansip wanra saja.
Tanngal 5 Oktober 1945 Badan Keamanan
Rakyat (Badan Keaman Rakyat) ditransformasi lagi menjadi TKR (Tentara Kemanan
Rakyat), dan ketika itu, mayor KNIL Oerip Soemohardjo diangkat sebagi Kepala
Markas Besar Umum TKR. Namun, karena adanya faktor ketidanyamanan dan ketidak
puasan dari kalangan orang-orang bekas kadet/opsir Peta, terhadap bekas opsir
KNIL maka Oerip Soemohardjo tidak diangkat jadi panglima tentara, jabatan yang
kemudian kepada Suprijadi. Sesuai dengan namaya, TKR berfungsi untuk menjaga
keamanan dalam negeri bukan untuk menghadapi musuh dari luar. Kendati demikian,
dengan adanya perbuahan ini, secara struktural mengalami sedikit perbaikan. Hal
ini dikarenakan adanya perwira didikan KNIL yang masuk BKR. Mereka adalah
orang-orang yang telah memiliki pengalaman untuk menjalankan tugas-tugas yang
berkaitan dengan pengorganisasian dan perencanaann militer.
Kemudian pada 25 Januari 1946, TKR
diubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Hal ini disebabkan oleh
beberapa pemuda yang termasuk dalam lasykar-lasykar belum bersedia untuk
melebur atau bergabung dengan TKR. Bagi mereka, Lasykarlah yang paing pantas
untuk hidup karena bersumber langsung dari rakyat. Sebagai akibatnya, sering
terjadi kesulitan dalam menegakkan hukum dalam negeri, karena lasykar sering
mengambil inisyatif sendiri di luar control pusat. Sehingga mengharuskan
pemerintah untuk mengadakan sistem desentralisasi sebagai antisipasi agar
pertentangan ini tidak berlanjut. Maka pada 5 Mei 1947 Soekarno mengeluarkan
dekrit yang bermaksud untuk mengabungkan TRI dan lasykar yang sering
bertentangan menjadi TNI. Dan akhirnya terbentuklah TNI yang kita kenal saat
ini.
Dossantos
Berbareng
Bergerak Merebut Kedaulatan
Wujudkan
Demokrasi, Tuntaskan Revolusi
Bersatu
Kita Mengempung
Bercerai
Kita Menghimpun
Hidup Rakyat
Hidup Mahasiswa yang Melawan
Hidup Rakyat
Hidup Mahasiswa yang Melawan
[1] . sumber
Pribadi.
[2] . Arief
Yulianto.Hubungan Sipil Militer di Indonesia pasca Orba di tengah pusaran
demokrasi.hal 27.
[3] .
http///:Militerisme/Wacana dasar/COMANDANTE.html, di akses pada 3 februari
2015.
[4] . Paul
Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti
Pers, 1985, hal 3
[5] Ahmad Mansyur Suryanegara, PETA; Pemberontakan Di Cileunca
Pangalengan Bandung Selatan, Jakarta, Yayasan Wira
Patria Mandiri, 1996, hal 21
[7] . Ulf
Sundahaussen_Politik Militer Indonesia 1945-1967 menuju dwifungsi ABRI, hal 3.
[8] . Bab II,
Gambaran Umum Militer Indonesia, Makalah Mahasiswa Universitas Sumatra Utara
dalam bentuk pdf.