Senin, 29 Februari 2016

WACANA DASAR MILITERISME


Pengantar
Berbicara tentang militerisme khususunya di Indonesia tidak pernah terlepas dari sejarah kekuasaan minoritas terhadap mayoritas pada masa Orde baru yang berlangsung selama 32 tahun. Kehidupan orde baru, penuh ditandai dengan makin berperannya golongan tentara. Menurut sejarahnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berasal dari rakyat, merupakan unifikasi-unifikasi kelaskaran rakyat bersenjata yang ikut berjuang menuju/mempertahankan Indonesia Merdeka. Dalam kesejarahannya, Militer atau Tentara Nasional Indonesia dijelaskan pula bahwasannya terdapat banyak pemuda-pemuda indonesia yang kala itu secara formal masuk dalam pendidikan militer. Mereka adalah yang secara khusus memilih karier hidupnya sebagai tentara profesional, yaitu medapat pendidikan kemiliteran dalam KNIL dan PETA. Setelah kemerdekaan tercapai, mereka terlebur dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berganti nama menjadi  Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945, yang mana hari tersebut diperingati hingga sekarang sebagai hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita menyimak terlebih dahulu pengertian dari militer, militeristik, militerisasi dan militerisasi itu sendiri.[1]
Istilah militer sebenarnya sudah lama menjadi istilah populer dalam wacana publik, paling tidak di kalangan aktivis yang anti Dwifungsi. Militer dalam bahasa inggris “Military” adalah the soldiers, the army atau the arm force, yang dalam bahasa indonesia dapat di artikan sebagai prajurit atau tentara seperti Angkatan Darat, Angkatan Udara, Marienir serta Angkatan Laut. Militer adalah angkatan bersenjata yang biasanya terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang seperti yang disebut di atas,[2] yang secara institusional atau secara keorganisasian berperang sebagai alat pertahanan keamanan di suatu negara bila terjadi ancaman terhadap kedaulatan negara. Selain itu, militer juga berperan penting dalam melindungi masayarakat dari tindakan kriminal atau ancaman yang menganggu kehidupan sosial mereka. Militer mulai dikenal semenjak manusia mengenal kehidupan berkelompok dan bermasyarakat.  Di mana militer yang pada awalnya adalah sekelompok manusia yang mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap keamanan dan perlindungan terhadap manusia yang lainnya didalam satu wilayah dari bahaya dari luar maupun dari dalam
 Militeristik adalah suatu bentuk kegiatan, aktivitas atau usaha yang mempunyai dan mengandung sifat militer (kekerasan). Militeristik identik dengan premanisme yang sampai hari ini masih banyak terjadi dilingkungan sekitar kita, misalnya penyelesaian kasus atau konflik dengan jalan kekerasan (memukul atau menendang) .
Militerisasi merupakan suatu proses yang mengarah pada militerisme, yaitu penyebaran doktrin-doktrin militer kepada masyarakat sipil yang berkaitan langsung dengan dunia kekerasan dan watak militer. Militerisasi melalui dwi fungsi ABRI adalah “monster“ bagi masyarakat politik yang merusak kompetisi, partisipasi dan liberalisasi. Militerisasi yang ada diIndonesia dilakukan oleh militer dengan sistematik dan terencana.
Militerisme adalah suatu paham yang mengagung-agungkan militer. Militerisme merupakan “kanker“ bagi masyarakat sipil yang mengancam demokrasi karena watak dan sifat militer sudah melekat pada masyarakat sipil. Secara tegas, Martin Shaw (1993) merumuskan militerisme sebagai pengaruh organisaasi, nilai-nilai, ide-ide, dan perilaku militer kedalam kehidupan struktur sosial masyarakat.[3]
Seperti yang disebutkan di awal, bahwa militer di indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Berdasran sejarahnya militer Indonesia merupakan hasil didikan para kolonial yang menjajah Indonesia kala itu. Sebab pada awal revolusi, Pemerintah Indonesia tidak membentuk tentara resmi. Elemen pembentukan BKR, TKR, TRI hingga TNI dibangun dengan tiga unsur utama yang masingmasing memiliki latar belakang yang berbeda yakni mantan anggota KNIL, mantan anggota PETA, dan laskar rakyat.
A.    KNIL (Tentara kerajaan di Hindia Belanda)
Dalam masa sebelum revolusi, peranan kaum pribumi dalam bidang kemiliteran tidaklah terlalu menonjol. Orang-orang indonesia masuk kedalam dinas ketentaraan kolonial tidak lebih sebagai prajurit atau perwira rendahan. Ini dimungkinkan khususnya setelah Berakhirnya perang Jawa, dimana dengan cara licik perlawanan Pangeran Diponegoro diakhiri. Perang yang berlangsung dari 1825-1830 tersebut telah membuat Belanda menerima pelajaran penting, Hindia Belanda harus memiliki pasukan yang menjaga keamanan dan ketertiban Hindia Belanda. Gubernur Jenderal saat itu, Van Den Bosch segera membentuk pasukan bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur), Belanda mengontrak orang orang mantan serdadu disersi dari eropa seperti Jerman, Belgia, Swiss, Perancis serta orang orang Afrika barat (Ghana) untuk dijadikan serdadu yang handal di wilayah jajahan hindia timur.  Pada tahun 1836, raja Willem I memberikan predikat koninklijk untuk kesatuan tentara hindia timur ini, namun predikat tersebut tidak pernah digunakan selama satu abad. Kemudian pada tahun 1933 barulah nama pasukan tersebut diubah menjadi Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) yang beranggotakan serdadu belanda, tentara bayaran dan sewaan dari negara lain serta warga pribumi (Indonesia) yang ditugaskan di wilayah hindia timur (Indonesia) pada zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)[4] . Orang Indonesia menyebutnya tentara kompeni atau kumpeni, sosok tentara bayaran yang rela mengkhianati bangsa sendiri. Agar pribumi tidak memiliki persatuan, maka Belanda membagi KNIL pribumi berdasarkan suku; Suku Jawa, Sunda, Ambon dan Manado. Selain itu bangsa pribumi juga tidak pernah menempati pangkat tertinggi, mereka selalu ditempatkan dalam pangkat terendah.
B.     PETA.
Ketika Jepang mulai menduduki wilayah nusantara pada tahun 1942. Jepang mendirikan  Pembela Tanah Air (PETA) Untuk mempertahankan tanah jajahannya. Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16 yang berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status[5] :
1.      Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
2.      Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
3.      Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima Tentara Jepang
4.      Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)
5.      Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
PETA memperoleh pendidikan dasar infanteri dan indoktrinisasi ala samurai untuk menanamkan semangat yang tinggi orang-orang Indonesia diangkat menjadi komandan pleton dan kompi, bahkan jabatan komandan batalyonpun diisi oleh orang-orang Indonesia dari golongan elit, komandan batalyon diangkat oleh pertama-tama tidak karena kualitas potensial mereka sebagai pemimpin militer melainkan berdasarkan pertimbangan politik. Kebanyakan dari mereka adalah pimpinan politik yang berpengaruh, sehingga pengangkatan mereka ke posisi militer yang lebih tinggi diharapkan akan mendorong keinginan para pemuda dari daerah asal mereka untuk menjadi anggota pasukan itu .  PETA memperoleh pendidikan dasar infanteri dan indoktrinisasi ala samurai untuk menanamkan semangat yang tinggi orang-orang Indonesia diangkat menjadi komandan pleton dan kompi, bahkan jabatan komandan batalyonpun diisi oleh orang-orang Indonesia dari golongan elit, komandan batalyon diangkat oleh pertama-tama tidak karena kualitas potensial mereka sebagai pemimpin militer melainkan berdasarkan pertimbangan politik. Kebanyakan dari mereka adalah pimpinan politik yang berpengaruh, sehingga pengangkatan mereka ke posisi militer yang lebih tinggi diharapkan akan mendorong keinginan para pemuda dari daerah asal mereka untuk menjadi anggota pasukan itu[6]. Selain PETA colonial Jepang juga membentuk HEIO yaitu pasukan kecil yang digunakan untuk tugas penjagaan. Pasuka ini juga dibekali pendidikan yang hampir sama dengan PETA.
Selam berdirinya PETA tidak pernah sepi akan pemberontakan yang dilakukan oleh kadet peta itu sendiri terhadap pemerintah Jepang yang dianggap sangat represif terhadap kadet-kadet PETA. Pemberontakan ini dimulai di Blitar pada 14 Februari 1945 dibawa komano Supryadi dengan para coleganya seperti Dr. Ismail, Mudari, Suwondo dll. Motif utama dalam pemberontakan ini adalah munculnya kemarahan dan ketidak puasan kadet Peta terhadap colonial Jepangkarena mereka sering melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat terdapat adanya penderitaan dimana-mana, terutama di sekitar tugas mereka.[7]
C.     Lasykar.
Setelah Peta duilucuti dan dibubarkan pada tahun 1944, maka republik yang masih muda itu, tidak mempunyai pasukan bersenjata untuk mempertahankan diri teradap musuh dari luar maupun dari dalam. Para pemuda yang melihat kekosongan ini, tidak tinggal diam dan langsung turun tangan dengan membentuk organisasi-organisasi perjuangan yang dikenal dengan nama lasykar, Mereka adalah para pemuda yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan militer sebelumnya. laskar-laskar inipun didalamnya sangat majemuk, sebagian dari mereka memiliki latar belakang keagamaan yang kuat dan atas dasar itu membentuk laskar perjuangan hizbullah (didikan pesantren), sementara di lain pihak ada yang mendasarkan diri pada ideology sosialis seperti Pesindo(Pemuda Sosialis Indonesia). Selain itu banyak organisasi yang beranggotakan pemuda-pemuda daerah walaupun identitas nasional mereka tidak diragukan. Mereka tidak memiliki perlengkapan militer yang lengkap, tidak terlatih dan tidak terdisiplin, juga tidak memiliki pemimpin yang berpengalaman. Mereka juga saling bentrok satu sama lain yang disebabkan karena perbedaan ideologis. Bahkan sering berselisih paham dengan pemerintah Soekarno dan tidak mau menerima perintah dari pemimpin nasional yang tidak bersikap tegas dalam menentang pasukan-pasukan sekutu dan belanda yang bagi mereka sebagai penghalang semangat mereka untuk bertindak.[8] Dalam keadaan seperti ini maka penegakkan hukum dan kewibawaan sulit dilaksanakkan, sehingga mengharuskan pemerintah untuk menciptakan sebauah pasukan bersenjata yang dapat menjaga keamanan dalam negeri sehingga penegakkan hukum dan kewibawaan dapat dilakukan. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI (Panitia Pelaksana Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 kemudian di transformasikan menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanngal 29 Agustus 1945 karena di anggap sebagai buah hasil ciptaan pemerintah jepang, mengumumkan terbentuknya BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang) yang di dalamnya sudah mencakup Badan Keamanan Rakyat (BKR). Fungsi BKR dalam UU pembentukannya, secara samar-samar disebutkan sebagai  memelihara keamanan bersama dengan rakyat dan badan-bada yang bersangkutan. Pada saat itu, Status BKR bukan Militer dan semata-mata semacam hansip wanra saja.
Tanngal 5 Oktober 1945 Badan Keamanan Rakyat (Badan Keaman Rakyat) ditransformasi lagi menjadi TKR (Tentara Kemanan Rakyat), dan ketika itu, mayor KNIL Oerip Soemohardjo diangkat sebagi Kepala Markas Besar Umum TKR. Namun, karena adanya faktor ketidanyamanan dan ketidak puasan dari kalangan orang-orang bekas kadet/opsir Peta, terhadap bekas opsir KNIL maka Oerip Soemohardjo tidak diangkat jadi panglima tentara, jabatan yang kemudian kepada Suprijadi. Sesuai dengan namaya, TKR berfungsi untuk menjaga keamanan dalam negeri bukan untuk menghadapi musuh dari luar. Kendati demikian, dengan adanya perbuahan ini, secara struktural mengalami sedikit perbaikan. Hal ini dikarenakan adanya perwira didikan KNIL yang masuk BKR. Mereka adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman untuk menjalankan tugas-tugas yang berkaitan dengan pengorganisasian dan perencanaann militer.
Kemudian pada 25 Januari 1946, TKR diubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Hal ini disebabkan oleh beberapa pemuda yang termasuk dalam lasykar-lasykar belum bersedia untuk melebur atau bergabung dengan TKR. Bagi mereka, Lasykarlah yang paing pantas untuk hidup karena bersumber langsung dari rakyat. Sebagai akibatnya, sering terjadi kesulitan dalam menegakkan hukum dalam negeri, karena lasykar sering mengambil inisyatif sendiri di luar control pusat. Sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengadakan sistem desentralisasi sebagai antisipasi agar pertentangan ini tidak berlanjut. Maka pada 5 Mei 1947 Soekarno mengeluarkan dekrit yang bermaksud untuk mengabungkan TRI dan lasykar yang sering bertentangan menjadi TNI. Dan akhirnya terbentuklah TNI yang kita kenal saat ini.

Dossantos

Berbareng Bergerak Merebut Kedaulatan
Wujudkan Demokrasi, Tuntaskan Revolusi
Bersatu Kita Mengempung
Bercerai Kita Menghimpun

Hidup Rakyat
Hidup Mahasiswa yang Melawan


[1] . sumber Pribadi.
[2] . Arief Yulianto.Hubungan Sipil Militer di Indonesia pasca Orba di tengah pusaran demokrasi.hal 27.
[3] . http///:Militerisme/Wacana dasar/COMANDANTE.html, di akses pada 3 februari 2015.
[4] . Paul Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal 3
[5] Ahmad Mansyur Suryanegara, PETA; Pemberontakan Di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, Jakarta, Yayasan Wira
Patria Mandiri, 1996, hal 21 
[6] Hendri F. Isnaeni, Kontroversi Sang Kolaborator, Ombak, Jakarta, 2008, hal 15
[7] . Ulf Sundahaussen_Politik Militer Indonesia 1945-1967 menuju dwifungsi ABRI, hal 3.
[8] . Bab II, Gambaran Umum Militer Indonesia, Makalah Mahasiswa Universitas Sumatra Utara dalam bentuk pdf.
Share:

Total Pageviews

Theme Support