Sabtu, 11 Juli 2015

PARTAI POLITIK

A. Latar belakang.
Partai politik sebagaimana kita mengerti sebagai istilah sehari-hari untuk menunjuk kekuatan politik di masyarakat kita tidaklah lahir dengan mudah. Sebagaimana institusi-institusi lainnya partai politik menyita waktuu dan pengorbanan besar dari para pencipta dan pendukungnya sebelum Ia dikenal dan diterima secara luas sebagai salah satu kelengkapan kehidupan politik manusia modern.
Partai berasal dari bahasa latin Partire, yang bermakna membagi.partai adalah sesuatu yang sangat adding bagi masyarakat Eropa dabad ke 17. Bahkan masyrakat amerika di abad ke 18 memvonis partai sebagai kekuatan survensif dan disintegrative bagi kesatuan Negara baru tersebut.
Partai politik pertama-tama lahir di Negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnnya gagasan bahwa rakyat merupakan factor yang perlu diperhitungkan serta di ikutsertakan dalam proses politk,maka patai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu system politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di Negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai.
Di Negara-negara yang menganut paham demokrasi,gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideology bahwa rakyat berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (Public policy). Sedangkan di Negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elit politiknya,bahwa rakyat perlu dibimning dab dibina untuk mencapai tujuan tertentu,sebab partai politik merupakan suatu alat yang baik.
Pada permulaan perkembangan nya,di Negara-negara barat seperti Inggris dan Perancis,kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalan parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitist dan aristokratis,mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih,kegiatan politik juga berkembang di luar parlement dengan terbentuknya panitia-panitiia pemilihan yang mengatur pengumpulan suaara para pendukungnya menjelang massa pemilihan umum. Oleh karena dirasa perlu memperoleh banyak dukungan dari pelbagai golongan masyarakat,kelompok-kelompok politik da;am perlemen lambat laun berusaha memperkembangkan organisasi massa,dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam parlement dengan panitia-ppanitia pemilihan yang sefaham dan kepentingan,dan lahirlah partai politik. Partai semacam ini menekankan kemenangan dalam pemilihan umum dand dalam masa antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Ia bersifat patronage parti (partai lindungan) yang biasanya tidak memiliki disiplin partai yang ketat.

B. Definissi partai politik .
Secara umum partai politik dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang teroganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik-(biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan–kebijaksanaan mereka.
Carl J Friedrich : parti politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan dan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil .
R. H Sultau : partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir ,yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang—dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih-bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
Sigmund Neumann dalam karangannya modern political parties mengemukakan definisi partai sebagai berikut : partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat untuk atas dasar persaingan suatu golongan atau golongan –golongan lain yan mempunyai pandangan yang berbeda.
UU Partai Politik pasal 1 ayat 1 tahun 2008: Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan di bentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

C. Fungsi-Fungsi Partai Politik.
Sistem politik memiliki memiliki beberapa fungsi yang di laksanakan oleh partai politik itu sendiri. Terdapat 7 fungsi yang menjadi pengendali dari sistem politik tersebut ketika menjalankan sebuah tugas atau wewenangnya. Salah satu utama dari fungsi partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan seperti fungsi rekrutmen dan fungsi-fungsi lain yang akan dijabarkan.

Sosisalisasi Politik.
Fungsi pertama yaitu fungsi sosialisasi politik. Yang dimaksud dengan sosialisasi politik ialah proses pembentukan sikap dari diri politik masyarakat itu sendiri. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup mereka baik secara sengaja dan tidak. Contoh dari yang tidak disengaja yaitu melalui pendidikan. Contoh dari yang tidak disengaja itu melalui pengalaman sehari-hari baik dari keluarga atau pun dari warga masyarakat sekitarnya..
Dari segi metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi dua, yakni pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses pembelajaran yang diajarkan antara pemberi dan penerima pesan. Dalam proses ini, para anggota masyarakat mempelajari dan lebih mengetahui tentang nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya yang ada. Mulai dari pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Cara yang dilakukan dalam proses ini seperti melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi dan keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan.
Sedangkan indoktrinasi politik diartikan sebagai proses sepihak ketika penguasa memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai sesuatu hal yang ideal dan baik. Cara yang dilakukan yaitu dengan melalui kegiatan berbagai forum pengarahan yang penuh paksaan psikologis, dan latihan yang penuh disiplin.

Rekrutmen Politik.
Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan umum atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam system politikpada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Dalam artian, fungsi ini adalah fungsi untuk memilih seseorang yang benar-benar mengetahui atau ahli dalam menjalankan peranan dan system politik di sebuah lembaga atau pemerintahan.
Partai politik merupakan partai tunggal dari sistem politik totaliter dimana partai ini memiliki porsi besar. Porsi besar yang dimaksud yaitu partai politik memiliki suatu tugas atau tanggung jawab yang dimiliki kepada seluruh partai yang ada di partai politik. Partai politik ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemrtintahan dalam system politik demokrasi.
Tujuan kedua dari fungsi rekrutmen adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu,fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan system politik sebab tanpa elite yang mampu melaksanakan peranannya,kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

Partisipasi Politik.
Partisipasi Politik ialah kegiatan warga Negara biasa dalam memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang di maksud, antara lain, mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik kepada suatu kebijakan umum yang sudah dibuat oleh pemerintah. Partai politik juga memiliki fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat lain untuk menggunakan partai politik sebagai kegiatan mereka untuk memengaruhi suatu proses politik.
Jadi, partai politik dapat disebut sebagai wadah dalam partisipasi politik. Fungsi ini memiliki porsi yang lebih tinggi dari sistem politik totaliter dalam partai politik, karena fungsi ini lebih mengharapkan ketaatan dari warga daripada aktivitas warganya.

Pemadu Kepentingan.
Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda dengan orang lain bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak yang diinginkan seseorang dan kehendak yang tidak diinginkan oleh orang lain, seperti mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi bermutu, antara kehendak untuk mencapai dan mempertahankan pendidikan tinggi yang bermutu tinggi, tetapi dengan jumlah penerimaan mahasiswa yang lebih sedikit dengan kehendak masyarakat untuk menyekolahkan anak ke perguruan tinggi, antara kehendak menciptakan dan memelihara kestabilan politik dengan kehendak berbagai kelompok, seperti mahasiswa, intelektual, pers, dan kelompok agama untuk berkumpul dan menyatakan pendapat secara bebas.
Fungsi pemadu kepentingan ini merupakan salah satu fungsi utama partai politik sebelum fungsi rekrutmen yang mencari dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi ini sangat menonjol dalam system politik demokrasi. Karena dalam sistem politik totaliter, kepentingan dianggap seragam jadi partai politik dalam sistem ini kurang melaksanakan fungsi pemadu kepentingan. Alternatif kebijakan umum yang diperjuangkan oleh partai tunggal dalam sistem politik totaliter lebih banyak merupakan tafsiran atas ideologi doktriner. Dalam sistem politik demokrasi, ideologi digunakan sebagai cara memandang permasalahan dan perumusan penyelesaian masalah dengan menggunakan konsep atau teori.

Komunikasi Politik.
Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintahan kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Disini partai politik memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai komunikator politik. Funsi ini tidak hanya menyampaikan segala keputusan pemerintah tetapi juga menjalankannya.
Dalam melaksanakan fungsi ini, partai politik tidak begitu saja menyampaikan segala informasi yang disampaikan pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada pemerintah. Tetapi partai politik memiliki cara sendiri agar masyarakat ataupun pemerintah dapat memahami informasi dengan mudah. Partai politik menggunakan konsep dasar dari ilmu komunuikasi dimana penerima informasi (komunikan) dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan informasi tersebut.
Dengan kebijakan pemerintah ini segala aspirasi atau pendapat, keluhan dan tuntutan masyarakat sudah dapat diterjemahkan dari bahasa teknis ke bahasa yang dapat dimengerti oleh pemerintah sekarang ini. Jadi, proses komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat dapat berlangsung secara efektif melalui partai politik.

Pengendalian Konflik.
Dalam arti luas konflik yang dimaksud dari fungsi ini, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar-individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam Negara demokrasi, setiap warga Negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar. Akan tetapi, suatu sistem politik hanya akan mentolerir atau menerima konflik yang tidak mengancurkan dirinya sehingga permasalahannya tidak menjadi semakin menambah konflik yang terjadi, melainkan mengendalikan konflik melalui lembaga demokrasi untuk mendapatkan penyelesaian dalam bentuk keputusan politik.
Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik yang kemudian permasalahan ini dibawa ke dalam cara musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan secara politik. Untuk mencapai penyelesaian berupa keputusan politik itu, diperlukan kesediaan berkompromi antara para wakil rakyat, yang berasal dari partai-partai politik. Apabila partai-partai politik keberatan untuk mengadakan kompromi, atau bahkan tidak mengikuti cara musyawarah yang ditetapkan berarti partai politik bukan mengendalikan konflik, melainkan menciptakan konflik dalam masyarakat tersebut.

Kontrol Politik.
Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Kebijakan pelaksanaan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan yang pertama dilakukan yaitu adanya tolak ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat objektif.
Tolak ukur dalam fungsi kontrol politik ini berupa nilai-nilai dan norma politik yang dianggap ideal dan baik. Kemudian dijabarkan ke dalam berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Selain itu, tujuan kontrol politik adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolak ukur tersebut.Fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi umtuk memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus-menerus.
Jika fungsi kontrol politik tersebut dilaksanakan maka partai politik harus menggunakan tolak ukur. Sebab tolak ukur merupakan kesepakatan bersama yang menjadi landasan atau pegangan bersama.
Berdasarkan fakta, tidak semua fungsi partai politik dilaksanakan dalam porsi besar dan tingkat keberhasilan yang sama. Tetapi semua fungsi dijalankan sesuai kepada sistem politik itu sendiri yang menjadi faktor yang melingkupi partai politik tersebut, tetapi juga ditentukan oleh faktor lain. Di antaranya yaitu berupa dukungan atau semangat yang diberikan anggota masyarakat terhadap partai politiknya.

D. Klasifikasi partai politik :
Klasifikasi partai dapat dilakukan dengan berbagai cara. Jika dilihat dari segi komposisi dan fungsi kenggotaannya, secara umum partai poltik dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai masa biasanya mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu ia biasanya terdiri dari pendukung – pendukung dari berbagai aliran aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing –masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawah partai massa cenderung untuk memaksakan kepentingan masing – masing, terutama pada saat – saat krisis, sehingga persatuan dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali, hal itu menyebabkan salah satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Sedangkan partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan.
Klasifikasi lainnya dapa dilakukan dari segi sifat dan orientasi, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan (patronage party)dan partai ideology atau partai azas (weltanchauungs partei atau programmatic party)
Partai lindungan biasanya memiliki organisasi nasional yang kendor, disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Sedangkan partai ideology atau azas biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat.
Pembagian di atas sering dianggap kurang memuaskan karena dalam setiap partai ada unsure lindungan serta pembagian rezeki di samping pandangan hidup tertentu. Oleh karena itu Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul Political Parties, mengklasifikasikan partai politik ke dalam tiga jenis, yaitu sistim partai tunggal, sistim dwi-partai dan sistim multi-partai.

Sistem Partai Tunggal.
Dalam sistem ini, hanya ada satu partai dalam suatu negara atau ada satu partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lainnya untuk dapat menyalurkan aspirasi rakyat. Sehingga aspirasi rakyat tidak dapat berkembang dengan baik. Segalanya ditentukan oleh satu partai tanpa adanya campur tangan partai lain, baik sebagai saingan maupun sebagai mitra. Partai tersebut tentunya adalah partai yang mengendalikan pemerintahan. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena partai- – partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan untuk saling bersaing secara merdeka melawan partai itu. Contohnya adalah Partai Nazi di Jerman, Partai Fascis di Italia dan Partai Komunis di Uni Soviet, RRC, Jerman.
Negara yang paling berhasil meniadakan negara – negara lain ialah Uni Soviet, Partai komunis Uni Soviet bekerja dalam suasana yang non-kompetitif. Tidak ada partai lain yang boleh bersaing. Oposisi dianggap sebagai pengkhianatan.

Sistem Dwi-Partai
Dalam sistem ini diartikan adanya dua partai dalam suatu negara atau adanya dua partai yang berperan dominan dari partai yang lain. Dalam sistem ini di bagi jelas antara partai yang berkuasa dan partai oposisi. Partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peranan ini sewaktu – waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang – orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung.
Sistem dwi-partai dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat homogeny, consensus dalam masyarakat mengenai azas dan tujuan sosial yang pokok kuat, dan adanya kontinuitas sejarah. Contohnya adalah Partai Konservatif (Tory) dan Partai Buruh di Inggris serta Partai Liberal dan Partai Buruh di Australia.
Inggris biasanya di kemukakan sebagai contoh yang paing ideal dalam menjalankan sistem dwi-partai. Partai buruh dan Partai Konservatif boleh di katakan tidak mempunyai pandangan yang banyak berbeda mengenai azas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu mengganggu kontinuitas dalam kebijaksanaan pemerintah. Perbedaan yang pokok hanya berkisar pada cara–cara dan kecepatan melaksanakan beberapa program pembaharuan yang menyangkut masalah sosial, perdagangan dan industri. Di samping kedua partai tadi ada beberapa partai kecil lainnya, diantaranya yan paling penting adalah Partai Liberal. Kedudukan partai ini relatif sedikit artinya dan baru terasa perannya jika kemenangan yang dicapai oleh salah satu partai besar hanya tipis sekali, sehingga perlu diadakan koalisi dengan Partai Liberal.

Sistem Multi-Partai
Dalam sistem ini terdapat lebih dari dua partai. Ada negara yang mempunyai sampai 12 partai, walau umumnya berkisar antara 5 sampai 8 partai saja. Indonesia hanya memiliki tiga orsospol. Negara lainnya yang menganut sistem multi partai adalah Jerman, Perancis, Jepang, Malaysia.
Dalam sistem multi-partai, jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, maka terpaksa dibentuk pemerintahan koalisi. Penentuan suara mayoritas adalah “setengah tambah satu”, yaitu bahwa sekurang – kurangnya lebih dari separuh jumlah anggota parlemen.

LITERATURE :
1. Prospek dan tantangan Partai Politik – Drs. Bambang Cipto.
2. Prof. Miriam Budiarjo,Dasar –dasar Ilmu Politik
3. Ramlan Surbakti,Memahami Ilmu Politik (Jakarta:Pt.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010)
4. http://aswirjunior.blogspot.com/2012/06/makalah-partai-politik-sistem-politik.html

Share:

PERMASALAHAN PENIDIKAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Dunia pendidikan yang dirasakan saat ini sudah keluar dari esensi dasarnya yaitu untuk “memanusiakan manusia”, yang mengarahkan dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan bagi peserta didik agar tidak hanya bisa melek hurup tapi juga melek terhadap realitas sosial masyarakat. Ini merupakan akibat dari sebuah sistem pendidikan nasional yang diterapkan oleh pemerintah sangatlah tidak relevan bagi kebutuhan rakyatnya. Persoalan ini dapat dilihat bagaimana tiap sekolah-sekolah  hanya memberikan  teori untuk dapat menjawab soal-soal ujian, agar para siswanya mendapatkan nilai yang baik, tetapi sekolah  tidak pernah memberikan pengetahuan untuk lebih mengenal realitas sosial yang berupa wacana dan praktek tentang interaksi manusia dengan manusia, hubungan rakyat dengan negaranya serta konflik ataupun permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di dalam negara. Apakah ini tidak dinamakan pendidikan juga? Artinya benar, sekolah hari ini telah bergeser fungsi yang seharusnya sekolah dapat melahirkan manusia yang cerdas dengan kesadaran akan realitas sosialnya tetapi kini sekolah telah banyak melahirkan manusia yang cerdas namun memiliki watak dan sikap atau kepribadian yang kotor. Jadi, pantaslah ke khawatiran Y.B Mangunwijaya atas kelahiran penjajah rakyat harus disikapi oleh masyarakat dengan menentang pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas matinya sekolah di negara ini.
Pendidikan keintelektualan yang murah dan bervisi kerakyatan itulah yang harus diterapkan oleh bangsa ini untuk membangun kembali mutu pendidikan yang telah lama mati. Banyaknya permasalahan di negara dari pemerintah yang opurtunis dengan keberpihakan terhadap lembaga Internasinal seperti IMF, WTO dan World Bank yang melakukan penghisapan terhadap perekonomian negara sampai konflik kedaerahan yang masih sering terjadi di Indonesia. Seandainya  pendidikan di Indonesia bervisi kerakyatan dan dapat memberikan kesadaran politik terhadap massa rakyat pasti penindasan di negara ini dapat di hapuskan. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi orang-orang yang telah ‘tersadarkan’ agar dapat mewujudkan perubahan di bangsa ini. 

B. Permasalahan Pendidikan di Indonesia.
Esensi dasar pendidikan adalah sebagai proses memanusiakan manusia, akan tetapi berbicara tentang realitas pendidikan di Indonesia saat ini adalah pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat. Sehingga dapat disinyalir, hal ini adalah sebuah bentuk penindasan terhadap rakyatnya sendiri. Bagaimanapun juga rakyat harus merasakan pendidikan yang diakomodir oleh kepentingan negara. Yang selama ini terjadi  adalah negara tidak mempunyai visi pendidikan yang mampu membawa kearah perubahan terhadap  perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Dengan adanya otonomi kampus menurut PP No. 60 dan 61 tahun 1999, sangat memberatkan rakyat akibat dari negara yang  ingin melepaskan campur tangannya terhadap lembaga  pendidikan. Dimanakah letak konsistensi suatu institusi negara ketika tidak adanya campur tangan  terhadap  pendidikan, belum lagi biaya pendidikan yang dirasakan semakin mahal, karena rendahnya subsidi untuk pendidikan, sehingga semakin memperpanjang barisan pengangguran bagi “anak bangsa” yang kemudian bisa disebut sebagai salah satu bentuk proses  pembodohan bagi rakyatnya.
Realitas dunia pendidikan yang dirasakan sekarang adalah mahalnya biaya pendidikan akibat pendidikan sendiri diarahkan pada gairah akumulasi modal, yang hanya berbasis meraup keuntungan dengan dasar peningkatan mutu. Hal ini sangat ironis sekali ketika pendidikan sangat mahal sehingga banyak orang tidak dapat merasakan dunia pendidikan akibat alasan peningkatan mutu, ternyata dibalik itu hanya menguntungkan kepentingan sepihak saja yaitu para pemilik modal. Maka dari persoalan ini kita mencoba merefleksikan kembali hakekat pendidikan yang ada di Indonesia, karena sesungguhnya bangsa ini telah mengamanatkan dalam UUD 1945 bahwa Negara mempunyai  kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan inipun dipertegas dalam satu pasal yang menyatakan Negara menjamin setiap warga negara untuk  mendapatkan pengajaran (pendidikan) yang layak. Oleh karena itu pendidikan haruslah bervisi kerakyatan sehinga dapat dinikmati oleh massa rakyat, untuk dapat menjadi manusia yang seutuhnya. Sebab yang namanya pendidikan adalah proses memanusiakan dan memerdekakan manusia, bagaimana kemudian dengan pendidikan manusia mampu memposisikan dirinya sebagai manusia, karena yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal dan kesadarannya. Maka dengan pendidikan manusia bukan hanya tau teori tapi juga manusia harus sadar melihat akan realitas sosial yang ada disekelilingnya, namun apa yang terjadi dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia sekarang sangatlah berbanding terbalik dengan kenyataan.
Perjalanan dunia pendidikan Indonesia tidak lepas dari bentuk, watak dan karakter kolonialisme yang menodai dunia pendidikan Indonesia sampai sekarang masih juga membudaya dan mengakar di masyarakat. Seperti halnya pada massa kolonialisme Belanda yang membentuk karakter pendidikan Indonesia yang kapitalistik dan feodalistik, ini dapat dilihat dari sejarah bahwa pendidikan ala kolonialisme Belanda di terapkan hanya untuk melengkapi tenaga perusahaan Belanda, dan pada saat itu pendidikanpun hanya dapat dinikmati oleh orang-orang dari golongan adm saja, dalam hal ini priyayi. Pada fase Jepang pun juga mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia, gaya fasismenya dengan merubah sekolah rakyat bentukan Belanda menjadi sekolah ketentaraan (PETA). Tentunya bentuk, watak dan karakter yang ditinggalkan kolonialisme Jepang adalah militeristik.
Saat ini zaman sudah berubah namun persoalan-persoalan pendidikan masih saja menghantui dunia pendidikan di bangsa kita. Sehingga menjadi budaya yang mengental di masyarakat, tentunya hal ini dapat dilihat pada manusia indonesia sendiri saat ini, mengikisnya budaya kebersamaan dan cenderungnya menjadi manusia individualis, konsurisme, pragmatis dan apatis terhadap ketimpangan-ketimpangan atau permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi disekelilingnya. Ini tidak lepas dari pendidikan yang di arahkan pada kepentingan untuk meraup keuntungan semata (paham modal atau kapitalisme). Adanya watak itu pun selalu mengedepankan persaingan sehingga manusia tidak mampu untuk membongkar ketimpangan-ketimpangan sosial atau tidak sadar  akan realitasnya.
Dan lebih parahnya juga mempengaruhi pola pengajaran pada dunia pendidikan kita, seperti pendidikan penyeragaman, tidak demokratis dan sangat monologis. Yang menjadikan peserta didik sebagai objek-objek pendidikan sehingga terjadinya kemandulan dan pengkebiran daya kritis para peserta didik. Dan para peserta didik selalu di anggap  serba kosong sehingga harus diisi dan diberi pengetahuan, dan di anggap gagal atau pembangkang ketika peserta didik melakukan pengkritisan. Pola dan bentuk seperti ini tidak akan mencerdaskan kehidupan bangsa karena ini merupakan sebagai sebuah upaya militerisasi pendidikan, belum lagi mahalnya biaya pendidikan yang membuat masyarakat tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan hal ini pada dasarnya memunculkan berbagai macam pengangguran di masyarakat.

C. Solusi Yang Ditawarkan
Sangat jelas pendidikan di Indonesia tidak mampu memberikan kemerdekaan ide, berpikir dan berkreatifitas yang juga sangat tidak memanusiakan manusia. Oleh karena itu pendidikan Indonesia harus dipertegas kearah yang lebih memanusiakan manusia dan pendidikan yang dapat di akses atau dinikmati oleh seluruh massa rakyat atau bervisi kerakyatan. Hal ini dapat dimulai dari pendidikan penyadaran dengan membuka ruang-ruang akademik yang demokratis, ilmiah, egaliter, dan dialogis. Dengan tawaran solusi seperti itu dunia pendidikan akan membawa dirinya pada didikasi sesungguhnya yaitu tempat pencerahan untuk merubah segala ambiguitas yang terjadi.
Maka oleh sebab itu, kita sebagai kaum atau orang terpelajar harus sudah menanamkan dari sekarang sebuah pendidikan yang membebaskan, sebagai anti tesa sistem pendidikan bangsa Indonesia saat ini, sehingga akan dapat menjadi pijakan kearah sistem pendidikan yang lebih baik dengan itu solusi awalnya adalah dengan membuka forum-forum diskusi sebagai tempat membaca relitas sosial dan menumbuh kembangkan study-study club sebagai embrio perubahan pada dunia pendidikan yang ada di bangsa saat ini. Dan yang menjadi catatan bagi kita hari ini adalah menciptakan pendidikan yang berbasis kerakyatan, demokratis, egaliter, ilmiah dan transformatif.

            D. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia pada saat ini mengalami keterpurukan, karena tidak dapat lagi menjalankan fungsi dasarnya. Karenanya kita harus dapat memahami apa sebenarnya fungsi pendidikan itu. Ada banyak rumusan tentang fungsi pendidikan dalam khasanah kepustakaan ilmu sosial pada umumnya dan ilmu pendidikan khususnya. Namun semua rumusan itu dapat dirangkum dalam apa yang disebut oleh seorang psikologi pendidikan yaitu Benjamin Bloom, bahwa fungsi dari lembaga pendidikan pada dasarnya menggarap tiga wilayah kepribaian manusia antara lain: membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatih ketrampilan (psychomotoric atau conative domain). Jadi inti pendidikan harus dapat membentuk seseorang mejadi manusia dalam arti yang sebenarnya, yang seutuhnya karena tiga ukuran pokok itulah (watak, pengetahuan dan ketrampilan) yang menjadi ukuran khas kemanusiaan yang membedakan pribadi seseorang dengan makhluk lainnya.
Jadi ketika melihat dunia pendidikan yang sangat memprihatinkan pada saat ini, yang hanya bisa mengenyam pendidikan adalah orang-orang yang mampu secara ekonomi untuk bisa mengaksesnya. Lalu apa peran negara yang telah di tetapkan dalam konstitusi UUD 1945,”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran”. Dengan munculnya otonomi kampus PP No. 61/ 62 Th 1999 ini merupakan suatu bentuk komersialisasi pendidikan, yang sangat memberatkan rakyat untuk mengaksesnya. Dengan di jadikan pendidikan sebagai barang public yang di privatisasi tentunya banyak sekali arus modal yang masuk demi kepentingan para pemodal dalam dunia pendidikian. Pendidikian telah berubah menjadi industrialisasi dan sebagai barang komoditi demi kepentingan pasar.  Inilah bentuk dari kapitalisasai pendidikan yang telah merubah esensi sebenaranya dalam pendidikan itu sendiri.
Share:

Jumat, 10 Juli 2015

Fenomena Partai Politik dan Reformasi Kepartaian

A. Latar Belakang Masaalah.
Jatuhnya rezim otoritarian Soeharto mengawal lahirnya semangat perubahan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali partai polik sebagai representasi dari tradisi berpolitik masyarakat dalam rangka pembentukan sistem politik yang demokratis. Sejak kelahiran orde reformasi yang diharapkan mampu hadir memberi angin segar pada tradisi berpolitik lewat partai sebagai jalur agregasi kepentingan rakyat, namun cita-cita luhur tersebut harus kandas dan bahkan terpental dan jauh dari harapan rakyat ketika realitas kepartaian hanya menjadi ajang elit untuk mengakumulasi kekuasaan dan melupakan konstituennya, karena fungsi dan tugas partai tidak pernah dijalankan sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Dengan demikian, semangat reformasi yang didengungkan selama ini, tidak berdampak pada perubahan sistem kepartaian yang juga seharusnya mampu sebagai cerminan perubahan berpolitik dalam mewujudkan sistem berpolitik dan sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis.
Melihat kenyataan seperti ini, maka perlu ada perubahan pada sistem kepartaian yang kita jalankan selama ini, agar semangat reformasi demi perubahan benar-benar terwujud sesuai dengan yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia selama ini. Berangkat dari kenyataan kepartaian yang sangat memprihatingkan dan keinginan luhur untuk mewujudkan sistem politik yang benar-benar demokratis, maka perlu untuk mengidentifikasi masaalah yang menyebabkan sistem kepartaian di Indonesia tidak mampu berjalan dengan semestinya, yang kemudian diakhiri dengan pemberian solusi terhadap permaslahan tersebut. Dengan proses seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sistem kepartaian yang profesional dan akan menjalankan agenda politiknya sesuai dengan kepentingan dan hati nurani rakyat.

  1. Fenomena Partai Politik di Zaman Reformasi.
Kemunculan banyak partai politik dizaman reformasi adalah satu sisi dari warna-warninya wajah politik Indonesia. Namun kemunculan banyak partai ini, harus terseleksi pada level masyarakat dan pertarungan kekuatan partai pada saat pemilu 1999 dan 2004 dan menyisakan partai-partai besar yang mempunyai konstituen yang solid dan loyal. Namun ciri mendasar pembentukan dan pertumbuhan partai-partai baru setelah kejatuhan Orde Baru adalah mengedepankan unsur komunalistik serta kekerabatan tradisional.Ini menegakkan aura primordialisme sebagai suatu variabel yang mempengaruhi loyalitas dan perilaku politik[1]. Hal ini memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang ada, masih bersifat feodal dan tradisional, padahal partai politik adalah organisasi modern yang diharpkan mampu membangun sistem perpolitikan yang demokratis.
Bahkan kalau kita mau melihat beberapa partai politik yang cukup besar, mereka masih belum mampu menciptakan sistem managerial kepartaian yang modern sehingga beberapa partai tidak mampu mengelola konflik di internal partainya sehingga berujung pada perpecahan partai. Kongres Ke-2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005, melahirkan Gerakan Pembaruan. Muktamar II Partai Kebangkitan Bangsa di Semarang, 16-18 April, diwarnai dengan perselisihan Kubu Muhaimin Iskandar dengan sejumlah kubu lainnya, terutama dari Kubu Alwi Shihab-Saifullah Yusuf. MUKTAMAR Partai Bintang Reformasi (PBR) di Jakarta, 26-28 April, berakhir dengan kepengurusan kembar, Zaenuddin MZ-Burzah Zarnubi versus Zaenal Ma’arif-Rizal Fadillah.[2] Hal tersebut, jelas menggambarkan tradisi kepartaian di Indonesia bahwa belum dewasa dan belum mampu menjadi organisasi yang bisa menjadi wadah perjuangan kepentingan rakyat. Bahkan kalau kita mau jujur mengatakan bahwa fungsi partai politik selama ini tidak berjalan dan bahkan cenderung m3elupakan tugasnya sebagai partai politik.

  1. Beberapa Penyebab Partai Politik tidak Profesional dalam Kinerjanya.
Kalau kita mengamati, parpol yang muncul di tengah era reformasi rapuh karena tidak memiliki roh dan tradisi demokrasi. Padahal, mereka sudah memiliki lembaga-lembaga demokrasi yang memadai dengan prosedur dan aturan main yang lengkap. Tahun 1950-an justru sebaliknya. Lembaga-lembaga demokrasinya bisa dibilang masih terbelakang, tetapi ketika itu, "Aktor-aktor politik yang mendominasi panggung justru hidup dalam tradisi demokrasi yang kuat, Sandaran bagi parpol ketika ikatan-ikatan lepas oleh konflik internal, tinggal figur. "Figur menjadi magnet parpol. Parpol lalu mengalami personalisasi yang ditandai oleh patronase. Praktik oligarki, konspirasi, dan klik di tubuh parpol makin mengental, maka akan terjadi perubahan orientasi kekuasaan, posisi, jabatan, dan uang.[3]
Proses ini kemudian akan mematikan potensi perkembangan kader dan jelas akan menutup ruang demokrasi di internal partai, dan bahkan yang lebih berbahaya, kalau publik yang frustrasi kemudian mulai berpaling ke satu sistem politik yang sebetulnya menjadi antitesis demokrasi, yaitu ke satu sistem politik teokrasi fundamentalis, atau menjadi nasionalis otoritarian. Itu artinya, Indonesia gagal melewati proses transisi demokrasi.

  1. Sentralistik.
Secara umum struktur organisasi partai politik di Indonesia, masih tradisional, tergantung pada satu figur karismatik berdasarkan keyakinan atau keturunan. Selain itu, bersifat sentralistik dan tidak mandiri secara finansial. Hal ini diprediksi akan menimbulkan persoalan dan benturan budaya di masa depan mengingat struktur organisasi pemerintah kini menuju desentralisasi dan otonomi daerah. Kalau struktur organisasi masih sentralistik, orang-orang partai yang duduk di pemerintah daerah akan sangat tergantung pada ketua partai di tingkat atas dan menunggu petunjuk. Hal ini akan memperlambat dan mempersulit proses otonomi daerah yang baik dari sisi kepartaian. Sentralistik akan mematikan kreativitas dan independensi yang dibutuhkan dalam otonomi daerah.
Untuk itu, perlu segera dilakukan desentralisasi partai. Dengan demikian, para pemimpin partai/elite politik tidak selalu dari pusat. Seperti di AS, calon pemimpin diusulkan oleh tingkat bawah, diadu di tingkat daerah, baru kemudian di pusat. Hal ini memungkinkan orang daerah muncul sebagai pemimpin partai maupun pejabat di pemerintah pusat. Dan bahkan gejala sentralistik terjadi hampir pada semua partai

  1. Kemandirian finansial.
Dari sisi pendanaan belum ada partai politik yang mandiri secara finansial. Secara teoretis, dana partai berasal dari public fund/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), iuran anggota, donasi dari anggota partai yang kaya, serta dari kelompok-kelompok kepentingan yang berharap sesuatu dari kemenangan partai. "Yang berbahaya adalah bribe and kickback, di mana orang di luar partai menyumbang partai yang berkuasa agar kebijakan partai menguntungkan mereka. Seperti yang dilakukan para konglomerat di masa Orde Baru. Oleh sebab itu, maka perlu ada revisi Undang-undang Kepartaian dan UU Pemilu. Partai politik perlu diizinkan memiliki perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik. Di sisi lain, tender-tender pemerintah harus dilakukan secara transparan dan fair, tidak lewat jalur belakang. Dengan demikian, partai bisa mendanai kegiatannya paling tidak 75 persen, tidak terlibat bribe and kickback. Contoh negara yang menerapkan adalah Australia. Hal ini akan mendukung sistem kepartaian yang baik dan sistem pemerintahan yang bersih dan baik.[4]

  1. Kesimpulan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan sistem kepartaian di Indonesia memprihatinkan dan menuntut perubahan secepatnya, sebagai jawaban terhadap mandeknya arus demokratisasi dan sekaligus jawaban untuk mereformasi sistem kepartaian di Indonesia yaitu; yang pertama adalah Watak feodal yang tercermin oleh kepemimpinan kharismatik mengakibatkan ruang-ruang demokrasi tertutup rapat dan cenderung menciptakan oligarki di internal partai. Kedua, Sistem kepemimpinan yang sentralistik, juga mematikan potensi kader dan menjadi penghalang untuk kemajuan kader daerah yang secara riil juga mematikan potensi daerah tersebut. Dan yang terakhir adalah Harus ada kemandirian finansial yang didukung oleh perundang-undangan agar pendanaan partai bisa independen dari kelompok manapun, dan agar tidak terulang seperti zaman orde baru, penguasa dan konglomerat-konglomerat mempergunakan jalur partai untuk memperjuangkan kepentingan pribadinya.

Daftar Referensi:
Kompas, 7 Mei 2005
Kompas, 6 Agustus 2001
Kompas, 12 November 2000


[1]Pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menyambut 32 tahun umur lembaga kesenian itu, hari Sabtu 11 November 2000, ( Kompas, 12 November 2000)
[2] Kompas, 7 Mei 2005
[3] Kompas, 7 Mei 2005
[4] Ikrar Nusa Bakti dalam Kompas, 6 Agustus 2001
Share:

Total Pageviews

Theme Support