A. Latar Belakang Masaalah.
Jatuhnya rezim otoritarian Soeharto mengawal lahirnya
semangat perubahan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak
terkecuali partai polik sebagai representasi dari tradisi berpolitik masyarakat
dalam rangka pembentukan sistem politik yang demokratis. Sejak kelahiran orde
reformasi yang diharapkan mampu hadir memberi angin segar pada tradisi
berpolitik lewat partai sebagai jalur agregasi kepentingan rakyat, namun
cita-cita luhur tersebut harus kandas dan bahkan terpental dan jauh dari
harapan rakyat ketika realitas kepartaian hanya menjadi ajang elit untuk
mengakumulasi kekuasaan dan melupakan konstituennya, karena fungsi dan tugas
partai tidak pernah dijalankan sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Dengan demikian, semangat reformasi yang didengungkan
selama ini, tidak berdampak pada perubahan sistem kepartaian yang juga
seharusnya mampu sebagai cerminan perubahan berpolitik dalam mewujudkan sistem
berpolitik dan sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis.
Melihat kenyataan seperti ini, maka perlu ada
perubahan pada sistem kepartaian yang kita jalankan selama ini, agar semangat
reformasi demi perubahan benar-benar terwujud sesuai dengan yang diidam-idamkan
oleh seluruh rakyat Indonesia selama ini. Berangkat dari kenyataan kepartaian
yang sangat memprihatingkan dan keinginan luhur untuk mewujudkan sistem politik
yang benar-benar demokratis, maka perlu untuk mengidentifikasi masaalah yang
menyebabkan sistem kepartaian di Indonesia tidak mampu berjalan dengan
semestinya, yang kemudian diakhiri dengan pemberian solusi terhadap permaslahan
tersebut. Dengan proses seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sistem
kepartaian yang profesional dan akan menjalankan agenda politiknya sesuai
dengan kepentingan dan hati nurani rakyat.
- Fenomena Partai Politik di Zaman Reformasi.
Kemunculan banyak partai politik dizaman reformasi
adalah satu sisi dari warna-warninya wajah politik Indonesia. Namun kemunculan
banyak partai ini, harus terseleksi pada level masyarakat dan pertarungan
kekuatan partai pada saat pemilu 1999 dan 2004 dan menyisakan partai-partai
besar yang mempunyai konstituen yang solid dan loyal. Namun ciri mendasar
pembentukan dan pertumbuhan partai-partai baru setelah kejatuhan Orde Baru
adalah mengedepankan unsur komunalistik serta kekerabatan tradisional.Ini menegakkan aura primordialisme
sebagai suatu variabel yang mempengaruhi loyalitas dan perilaku politik[1]. Hal
ini memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang ada, masih bersifat feodal dan
tradisional, padahal partai politik adalah organisasi modern yang diharpkan
mampu membangun sistem perpolitikan yang demokratis.
Bahkan kalau kita mau melihat beberapa partai politik
yang cukup besar, mereka masih belum mampu menciptakan sistem managerial
kepartaian yang modern sehingga beberapa partai tidak mampu mengelola konflik
di internal partainya sehingga berujung pada perpecahan partai. Kongres Ke-2 Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan di Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005, melahirkan Gerakan
Pembaruan. Muktamar II Partai Kebangkitan Bangsa di Semarang, 16-18
April, diwarnai dengan perselisihan Kubu Muhaimin Iskandar dengan sejumlah kubu
lainnya, terutama dari Kubu Alwi Shihab-Saifullah Yusuf. MUKTAMAR Partai
Bintang Reformasi (PBR) di Jakarta, 26-28 April, berakhir dengan kepengurusan
kembar, Zaenuddin MZ-Burzah Zarnubi versus Zaenal Ma’arif-Rizal Fadillah.[2]
Hal tersebut, jelas menggambarkan tradisi kepartaian di Indonesia bahwa belum
dewasa dan belum mampu menjadi organisasi yang bisa menjadi wadah perjuangan
kepentingan rakyat. Bahkan kalau kita mau jujur mengatakan bahwa fungsi partai
politik selama ini tidak berjalan dan bahkan cenderung m3elupakan tugasnya
sebagai partai politik.
- Beberapa Penyebab Partai Politik tidak Profesional dalam Kinerjanya.
Kalau kita mengamati, parpol yang muncul di tengah era reformasi rapuh karena
tidak memiliki roh dan tradisi demokrasi. Padahal, mereka sudah memiliki
lembaga-lembaga demokrasi yang memadai dengan prosedur dan aturan main yang
lengkap. Tahun 1950-an justru sebaliknya. Lembaga-lembaga demokrasinya bisa
dibilang masih terbelakang, tetapi ketika itu, "Aktor-aktor politik yang
mendominasi panggung justru hidup dalam tradisi demokrasi yang kuat, Sandaran
bagi parpol ketika ikatan-ikatan lepas oleh konflik internal, tinggal figur.
"Figur menjadi magnet parpol. Parpol lalu mengalami personalisasi yang
ditandai oleh patronase. Praktik oligarki, konspirasi, dan klik di tubuh parpol
makin mengental, maka akan terjadi perubahan orientasi kekuasaan, posisi,
jabatan, dan uang.[3]
Proses
ini kemudian akan mematikan potensi perkembangan kader dan jelas akan menutup
ruang demokrasi di internal partai, dan bahkan yang lebih berbahaya, kalau
publik yang frustrasi kemudian mulai berpaling ke satu sistem politik yang
sebetulnya menjadi antitesis demokrasi, yaitu ke satu sistem politik teokrasi
fundamentalis, atau menjadi nasionalis otoritarian. Itu artinya, Indonesia
gagal melewati proses transisi demokrasi.
- Sentralistik.
Secara umum struktur organisasi partai politik di
Indonesia, masih tradisional, tergantung pada satu figur karismatik berdasarkan
keyakinan atau keturunan. Selain
itu, bersifat sentralistik dan tidak mandiri secara finansial. Hal ini
diprediksi akan menimbulkan persoalan dan benturan budaya di masa depan
mengingat struktur organisasi pemerintah kini menuju desentralisasi dan otonomi
daerah. Kalau struktur organisasi masih sentralistik, orang-orang partai yang
duduk di pemerintah daerah akan sangat tergantung pada ketua partai di tingkat
atas dan menunggu petunjuk. Hal ini akan memperlambat dan mempersulit proses
otonomi daerah yang baik dari sisi kepartaian. Sentralistik akan mematikan
kreativitas dan independensi yang dibutuhkan dalam otonomi daerah.
Untuk
itu, perlu segera dilakukan desentralisasi partai. Dengan demikian, para
pemimpin partai/elite politik tidak selalu dari pusat. Seperti di AS, calon
pemimpin diusulkan oleh tingkat bawah, diadu di tingkat daerah, baru kemudian
di pusat. Hal ini memungkinkan orang daerah muncul sebagai pemimpin partai
maupun pejabat di pemerintah pusat. Dan bahkan gejala sentralistik terjadi
hampir pada semua partai
- Kemandirian finansial.
Dari
sisi pendanaan belum ada partai politik yang mandiri secara finansial. Secara
teoretis, dana partai berasal dari public fund/Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), iuran anggota, donasi dari anggota partai yang kaya,
serta dari kelompok-kelompok kepentingan yang berharap sesuatu dari kemenangan
partai. "Yang berbahaya adalah bribe and kickback, di mana orang di
luar partai menyumbang partai yang berkuasa agar kebijakan partai menguntungkan
mereka. Seperti yang dilakukan para konglomerat di masa Orde Baru. Oleh sebab itu, maka perlu ada
revisi Undang-undang Kepartaian dan UU Pemilu. Partai politik perlu diizinkan memiliki
perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik. Di sisi lain, tender-tender
pemerintah harus dilakukan secara transparan dan fair, tidak lewat jalur
belakang. Dengan demikian, partai bisa mendanai kegiatannya paling tidak 75
persen, tidak terlibat bribe and kickback. Contoh negara yang menerapkan
adalah Australia. Hal ini akan mendukung sistem kepartaian yang baik dan sistem
pemerintahan yang bersih dan baik.[4]
- Kesimpulan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan sistem kepartaian di
Indonesia memprihatinkan dan menuntut perubahan secepatnya, sebagai jawaban
terhadap mandeknya arus demokratisasi dan sekaligus jawaban untuk mereformasi sistem
kepartaian di Indonesia yaitu; yang pertama adalah Watak feodal yang tercermin
oleh kepemimpinan kharismatik mengakibatkan ruang-ruang demokrasi tertutup
rapat dan cenderung menciptakan oligarki di internal partai. Kedua, Sistem kepemimpinan
yang sentralistik, juga mematikan potensi kader dan menjadi penghalang untuk
kemajuan kader daerah yang secara riil juga mematikan potensi daerah tersebut. Dan
yang terakhir adalah Harus ada kemandirian finansial yang didukung oleh
perundang-undangan agar pendanaan partai bisa independen dari kelompok manapun,
dan agar tidak terulang seperti zaman orde baru, penguasa dan konglomerat-konglomerat
mempergunakan jalur partai untuk memperjuangkan kepentingan pribadinya.
Daftar Referensi:
Kompas, 7 Mei
2005
Kompas, 6
Agustus 2001
Kompas, 12
November 2000
0 Comment:
Posting Komentar
Monggo, Jika Anda Ingin Komentar, Tapi Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan.
Monggo, Jika Anda Ingin Kritik, Tapi Tolong Kritik Yang Membangun.