Jumat, 10 Juli 2015

Fenomena Partai Politik dan Reformasi Kepartaian

A. Latar Belakang Masaalah.
Jatuhnya rezim otoritarian Soeharto mengawal lahirnya semangat perubahan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali partai polik sebagai representasi dari tradisi berpolitik masyarakat dalam rangka pembentukan sistem politik yang demokratis. Sejak kelahiran orde reformasi yang diharapkan mampu hadir memberi angin segar pada tradisi berpolitik lewat partai sebagai jalur agregasi kepentingan rakyat, namun cita-cita luhur tersebut harus kandas dan bahkan terpental dan jauh dari harapan rakyat ketika realitas kepartaian hanya menjadi ajang elit untuk mengakumulasi kekuasaan dan melupakan konstituennya, karena fungsi dan tugas partai tidak pernah dijalankan sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Dengan demikian, semangat reformasi yang didengungkan selama ini, tidak berdampak pada perubahan sistem kepartaian yang juga seharusnya mampu sebagai cerminan perubahan berpolitik dalam mewujudkan sistem berpolitik dan sistem kenegaraan yang benar-benar demokratis.
Melihat kenyataan seperti ini, maka perlu ada perubahan pada sistem kepartaian yang kita jalankan selama ini, agar semangat reformasi demi perubahan benar-benar terwujud sesuai dengan yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia selama ini. Berangkat dari kenyataan kepartaian yang sangat memprihatingkan dan keinginan luhur untuk mewujudkan sistem politik yang benar-benar demokratis, maka perlu untuk mengidentifikasi masaalah yang menyebabkan sistem kepartaian di Indonesia tidak mampu berjalan dengan semestinya, yang kemudian diakhiri dengan pemberian solusi terhadap permaslahan tersebut. Dengan proses seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sistem kepartaian yang profesional dan akan menjalankan agenda politiknya sesuai dengan kepentingan dan hati nurani rakyat.

  1. Fenomena Partai Politik di Zaman Reformasi.
Kemunculan banyak partai politik dizaman reformasi adalah satu sisi dari warna-warninya wajah politik Indonesia. Namun kemunculan banyak partai ini, harus terseleksi pada level masyarakat dan pertarungan kekuatan partai pada saat pemilu 1999 dan 2004 dan menyisakan partai-partai besar yang mempunyai konstituen yang solid dan loyal. Namun ciri mendasar pembentukan dan pertumbuhan partai-partai baru setelah kejatuhan Orde Baru adalah mengedepankan unsur komunalistik serta kekerabatan tradisional.Ini menegakkan aura primordialisme sebagai suatu variabel yang mempengaruhi loyalitas dan perilaku politik[1]. Hal ini memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang ada, masih bersifat feodal dan tradisional, padahal partai politik adalah organisasi modern yang diharpkan mampu membangun sistem perpolitikan yang demokratis.
Bahkan kalau kita mau melihat beberapa partai politik yang cukup besar, mereka masih belum mampu menciptakan sistem managerial kepartaian yang modern sehingga beberapa partai tidak mampu mengelola konflik di internal partainya sehingga berujung pada perpecahan partai. Kongres Ke-2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005, melahirkan Gerakan Pembaruan. Muktamar II Partai Kebangkitan Bangsa di Semarang, 16-18 April, diwarnai dengan perselisihan Kubu Muhaimin Iskandar dengan sejumlah kubu lainnya, terutama dari Kubu Alwi Shihab-Saifullah Yusuf. MUKTAMAR Partai Bintang Reformasi (PBR) di Jakarta, 26-28 April, berakhir dengan kepengurusan kembar, Zaenuddin MZ-Burzah Zarnubi versus Zaenal Ma’arif-Rizal Fadillah.[2] Hal tersebut, jelas menggambarkan tradisi kepartaian di Indonesia bahwa belum dewasa dan belum mampu menjadi organisasi yang bisa menjadi wadah perjuangan kepentingan rakyat. Bahkan kalau kita mau jujur mengatakan bahwa fungsi partai politik selama ini tidak berjalan dan bahkan cenderung m3elupakan tugasnya sebagai partai politik.

  1. Beberapa Penyebab Partai Politik tidak Profesional dalam Kinerjanya.
Kalau kita mengamati, parpol yang muncul di tengah era reformasi rapuh karena tidak memiliki roh dan tradisi demokrasi. Padahal, mereka sudah memiliki lembaga-lembaga demokrasi yang memadai dengan prosedur dan aturan main yang lengkap. Tahun 1950-an justru sebaliknya. Lembaga-lembaga demokrasinya bisa dibilang masih terbelakang, tetapi ketika itu, "Aktor-aktor politik yang mendominasi panggung justru hidup dalam tradisi demokrasi yang kuat, Sandaran bagi parpol ketika ikatan-ikatan lepas oleh konflik internal, tinggal figur. "Figur menjadi magnet parpol. Parpol lalu mengalami personalisasi yang ditandai oleh patronase. Praktik oligarki, konspirasi, dan klik di tubuh parpol makin mengental, maka akan terjadi perubahan orientasi kekuasaan, posisi, jabatan, dan uang.[3]
Proses ini kemudian akan mematikan potensi perkembangan kader dan jelas akan menutup ruang demokrasi di internal partai, dan bahkan yang lebih berbahaya, kalau publik yang frustrasi kemudian mulai berpaling ke satu sistem politik yang sebetulnya menjadi antitesis demokrasi, yaitu ke satu sistem politik teokrasi fundamentalis, atau menjadi nasionalis otoritarian. Itu artinya, Indonesia gagal melewati proses transisi demokrasi.

  1. Sentralistik.
Secara umum struktur organisasi partai politik di Indonesia, masih tradisional, tergantung pada satu figur karismatik berdasarkan keyakinan atau keturunan. Selain itu, bersifat sentralistik dan tidak mandiri secara finansial. Hal ini diprediksi akan menimbulkan persoalan dan benturan budaya di masa depan mengingat struktur organisasi pemerintah kini menuju desentralisasi dan otonomi daerah. Kalau struktur organisasi masih sentralistik, orang-orang partai yang duduk di pemerintah daerah akan sangat tergantung pada ketua partai di tingkat atas dan menunggu petunjuk. Hal ini akan memperlambat dan mempersulit proses otonomi daerah yang baik dari sisi kepartaian. Sentralistik akan mematikan kreativitas dan independensi yang dibutuhkan dalam otonomi daerah.
Untuk itu, perlu segera dilakukan desentralisasi partai. Dengan demikian, para pemimpin partai/elite politik tidak selalu dari pusat. Seperti di AS, calon pemimpin diusulkan oleh tingkat bawah, diadu di tingkat daerah, baru kemudian di pusat. Hal ini memungkinkan orang daerah muncul sebagai pemimpin partai maupun pejabat di pemerintah pusat. Dan bahkan gejala sentralistik terjadi hampir pada semua partai

  1. Kemandirian finansial.
Dari sisi pendanaan belum ada partai politik yang mandiri secara finansial. Secara teoretis, dana partai berasal dari public fund/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), iuran anggota, donasi dari anggota partai yang kaya, serta dari kelompok-kelompok kepentingan yang berharap sesuatu dari kemenangan partai. "Yang berbahaya adalah bribe and kickback, di mana orang di luar partai menyumbang partai yang berkuasa agar kebijakan partai menguntungkan mereka. Seperti yang dilakukan para konglomerat di masa Orde Baru. Oleh sebab itu, maka perlu ada revisi Undang-undang Kepartaian dan UU Pemilu. Partai politik perlu diizinkan memiliki perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik. Di sisi lain, tender-tender pemerintah harus dilakukan secara transparan dan fair, tidak lewat jalur belakang. Dengan demikian, partai bisa mendanai kegiatannya paling tidak 75 persen, tidak terlibat bribe and kickback. Contoh negara yang menerapkan adalah Australia. Hal ini akan mendukung sistem kepartaian yang baik dan sistem pemerintahan yang bersih dan baik.[4]

  1. Kesimpulan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan sistem kepartaian di Indonesia memprihatinkan dan menuntut perubahan secepatnya, sebagai jawaban terhadap mandeknya arus demokratisasi dan sekaligus jawaban untuk mereformasi sistem kepartaian di Indonesia yaitu; yang pertama adalah Watak feodal yang tercermin oleh kepemimpinan kharismatik mengakibatkan ruang-ruang demokrasi tertutup rapat dan cenderung menciptakan oligarki di internal partai. Kedua, Sistem kepemimpinan yang sentralistik, juga mematikan potensi kader dan menjadi penghalang untuk kemajuan kader daerah yang secara riil juga mematikan potensi daerah tersebut. Dan yang terakhir adalah Harus ada kemandirian finansial yang didukung oleh perundang-undangan agar pendanaan partai bisa independen dari kelompok manapun, dan agar tidak terulang seperti zaman orde baru, penguasa dan konglomerat-konglomerat mempergunakan jalur partai untuk memperjuangkan kepentingan pribadinya.

Daftar Referensi:
Kompas, 7 Mei 2005
Kompas, 6 Agustus 2001
Kompas, 12 November 2000


[1]Pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menyambut 32 tahun umur lembaga kesenian itu, hari Sabtu 11 November 2000, ( Kompas, 12 November 2000)
[2] Kompas, 7 Mei 2005
[3] Kompas, 7 Mei 2005
[4] Ikrar Nusa Bakti dalam Kompas, 6 Agustus 2001
Share:

0 Comment:

Posting Komentar

Monggo, Jika Anda Ingin Komentar, Tapi Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan.
Monggo, Jika Anda Ingin Kritik, Tapi Tolong Kritik Yang Membangun.

Total Pageviews

Theme Support