Sabtu, 23 Agustus 2014

Kuis Analisa Hubungan Internasional

Jawaban Soal Kuis Analisa Hubungan Internasional 
Julius Dos Santos
20110510006
HI/C
  • Aliran positivisme muncul pada abad 19 yang termasuk era modern. Positivisme mengutamakan pada pengalaman dan menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman yang objektif. Positivisme dapat diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Aliran ini berdasarkan beberapa prinsip antara lain ; mereka menganggap bahawa teori itu sebagai general law yang sifatnya abadi (long terms) bukan merupakan alat analisa, selain itu juga mereka menganggap bahwa teori harus bersifat obyektif dan kuantitatif karena teori memiliki ukuran lingkungannya.
Share:

Senin, 18 Agustus 2014

Nation Building,State Building and Developing Programs of Thailand

TUGAS MASALAH NEGARA BERKEMBANG
Share:

Jumat, 08 Agustus 2014

Resume The Mistery Of Capital

Tugas Resume Buku
The Mistery Of Capital _halaman 119- 135 
Julius Dos Santos
20110510006 
HI/C 

Cerita lama

Ketika pemerintah memahami bahwa masyarakat miskin menguasai sejumlah besar real state dan unit-unit ekonomi produktif, maka tidak dapat dipungkiri mereka akan dihadapi berbagai persoalan seperti ketidakpuasan, korupsi bahkan sampai kematian,yang disebabkan oleh ketidakkeseuaian antara hukum yang dibuat oleh Negara berlawanan dengan hukum yang digunakan oleh warga negaranya. Agar tidak terjadi persoalan-persoalan seperti ini maka pemerintah diharapkan untuk menegakkan hukum yang diberlakukan di Negara tersebut, dan menyesuaikan diri dengan realitas yang terjadi di dalam Negara tersebut, karena, ketika pemerintah gagal dalam membuat hukum berjalan seiring dengan cara hidup masyarakat dan cara bekerja masyarakat pun akan membuat ektralegalitas semakin meluas. Hal ini bisa dilihat pada masa terjadinya Revolusi Industri di eropa, disamping pemrintah diganggu dengan migrasi massal petani, berkembangnya sector ekstralegal,kemiskinan maysrakat perkotaan dan kegelisahan social.
Para petani (pekerja proyek konstruksi di pedesaan) yang berambisius untuk bermigrasi ke perkotaan ini, disebabkan karena gaji yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan gaji yang didapatkan oleh para perkerja di perkotaan. Di inggris, gelombang pertama migrasi dimulai pada akhir abad ke 17, karena binggung dengan jumlah pendatang, maka para penguasa kemudian mencoba ketenangan dengan berbagai tindakan darurat seperti distribusi pangan di antara orang-orang miskin, bahkan ada tindakan yang kemudian menghimbau para pendatang untuk kembali ke desa. Ada beberapa perangkat hukum yang dikeluarkan pada tahun 1662,1685 dan 1693 yang megharuskan warga Negara untuk kembali ke tempat kelahiran mereka sebagai prasyarat untuk menerima bantuan social. Tapi tujuan utamanya adalah untuk mencegah keluarga atau buruh bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tahun 1697 hukum yang diterpakan mengijinkan para pendatang untuk bepergian hanya jika mereka meproleh sertifikat bermukim dari penguasa tempat tinggal mereka yang baru.
Hampir semua pendatang tidak mendapatkan pekerjaan yang merka harapkan, hal ini disebabkan oleh peraturan yang sangat mengikat,dimana mereka dipersulitkan untuk meperluas dan memperbanyak jenis usaha mereka, kapasitas perusahaan formal dibatasi untuk menyediakan pekerjaan bagi para buruh. D.C Colemen mengamatai bahwa pada awal abad ke 17 ada pengaduan ke Parlemen Inggris tentang menumpuknya pengemis dan semakin meningkatnya kriminalitas,gelandangan dan pencuri di kota-kota yang disebabkan oleh regualasi yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah kemudian menciptakan lebih banyak lagi hukum dan regulasi, walaupun demikian masalah tersebut tidak dapat di redamkan, malah sebaliknya dan pelanggaran terhadap hukum lama pun tidak dapat dielakkan, sehingga membuat sengketa hukum di pengadilan pun semakin bertambah, penyeludupan dan pemalsuan pun semakin meluas yang kemudian membuat pemerintah bertindak lebih represif dengan menggunakan tindakan kekerasan.

Munculnya Ekstralegalitas

Setahap demi setahap, para migrasi yang tidak mendapatkan pekerjaan yang legal, mulai membuka tempat kerja illegal di rumah mereka. Walaupun dipandang rendah oleh orang-orang kota,namun mereka tidak menghiraukan, karena pekerjaan ektralegal merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Eli Heckscher mengutip komentar Oliver Goldmith (1762) bahwa ; hampir tidak ada orang inggris yang setiap hari dalam hidupnya tidak terganggu oleh karena terabaikannya Hukum, dan tidak satupun orang yang mata duitan dan bisa disuap mencoba untuk menegakkannya. Kendatipun demikian para pengusaha ekstalegal seringkali di repressing oleh para pejabat legal. di perancis misalnya,para pengusaha ektralegal di repress dengan tindakan kekekasan seperti perbudakan hingga hukuman mati. Seperti yang dikatakan oleh Hecksher bahwa di kota Valence 77 pengusaha ekstralegal di gantung dan 77 lagi di hancurkan di atas mesin penggiling dan 631 di hukum sebagai budak kapal. Untuk mengindari diri dari hukuman ini maka para pengusaha ekstralegal mengerakkan perusahannya di luar kota dan menetapkan di daerah-daerah satelit baru dimana pengawasan Negara kurang keras dan regulasi lebih lemah atau tidak dapat di aplikasikan. Hal ini terjadi pada tahun 1563 ketika undang-undang inggris tentang Tenaga Kerja Ahli dan Magang, menetapkan tingkat upah untuk pekerjadan meminta adanya penyesuaian tahunan menurut harga kebutuhan pokok

Munculnya Tatanan Lama

Pada masa inilah pemerintahan-pemrintahan di Eropa menghadapi masalah yang agaknya krusial, dimana mereka dipaksa untuk menghadapi pertumbuhan ekstralegalitas, sebagaimana dilakukan oleh Negara-negara berkembang dan bekas komunis saat ini. Misalnya di Swedia, Raja Gustavus Adolphus dipakakan mengunjungi setiap pemukiman ekstalegalitas dan memberikan restu kepada mereka dengan tujuan menjaga citra pemerintah, hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghentikan mapannya pemukiman para pengusaha ektralegal. Selain itu para pengusaha ekstralegalitas juga menciptakan wilayah satelit mereka sendiri dan kota-kota kecil yang secara khusus bertujuan untuk menhindari control Negara dan serikat kerja. Mereka juga memproduksi barang dan jasa yang lebih bagus dibandingakan dengan pesaing atau pengusaha legal. mereka juga menyadarkan ratusan dari ribuan penduduk Italy,Spanyol,Perancis, dan orang-prang Eropa lainnya hingga pengusaha dan pekerja ahli sekalipun untuk bermigrasi ke Negara lain untuk mencari hidup baru.

Dan akhirnya setelah 300 tahun ketika regulasi yang sangat buruk mencekik perusahan-perusahan formal dan ketika pelaku ekstralegal dengan bebas mendefinisikan hukum dan menyuarakan ketidakpuasan mereka karena keterpinggiran, panggung permainan memaksa para politisi untuk menyesuaikan diri pada kenyataan yang ada. Hukum menjadi terbelakang pada tingkat yang sama, ketika pemukiman pendatang melingkari kota-kota.
Share:

Senin, 04 Agustus 2014

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA

Pendahuluan
Konsep dasar perdagangan bebas timbul dari reaksi terhadap kebijakan-kebijakan proteksionisme yang dilakukan beberapa Negara yang mengakibatkan ketidak  lancarannya proses perdagangan antara Negara. Pencetus pertama dari konsep perdagangan bebas adalah Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations ia berpendapat bahwa teori-teori merkantilis sangat membatasi kuantitas perdagangan.Perdagangan bebas adalah perdagangan tampa kerumitan birokrasi atau hambatan-hambatan buatan dari suatu Negara yang bermaksud untuk melindungi produksi dalam negeri seperti tariff, bea impor,kuaota impor dan lain-lain. Perdangangan bebas mengacu pada system liberalism dalam perekonomian dimana perdagangan dilepas dengan suatu zona tampa hambatan dan perdagangan tersebut berjalan sesuai dengan mekanisme pasar tampa campur tangan pihak lain.[1] 
Liberasasi perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan neoliberal secara internasional. Sebelumnya pemerintah lebih banyak menerapkan kebijakan perdagangan yang proteksionis, melalui penerapan tariff yang tinggi sesuai strategi industry subtitusi import. Termasuk pemberian monopoli kepada beberapa  pelaku usaha. Dengan mulai masuknya neo-liberalisme maka secara perlahan tariff mulai dikurangi dan diberlakukan deregulasi terhadap aturan-aturan perdagan.[2]
Yoseph Umarhadi dalam bukunya, Jebakan Liberalisasi “pragmatisme, dominasi asing dan ketergantungan ekonomi Indonesia” dengan mengunakan perspektif dependensia atau neodependensia sebagai pisau analisanya, menjelaskan fakta terkait praktek liberalisasi di Indonesia. Menurut Umardhadi ada empat gelombang besar liberalisasi yang masuk di Indonesia yaitu Gelombang pertama liberalisasi, terjadi seiring disahkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Memberikan keleluasaan untuk investasi modal asing di Indonesia. Gelombang kedua pada periode 1980-an, dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Juni 1983 dan Paket Kebijakan Oktober 1988 . Paket deregulasi dan liberalisasi tersebut menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Gelombang ketiga ditandai dengan lahirnya WTO (World Trade Organization) pada 1994 sebagai pengganti GATT (General Agreement On Trade and Tarifs). Perubahan tersebut juga berdampak langsung bagi Indonesia sebagai anggota WTO. Indonesia sejak 1995 harus berkomitmen untuk meliberalisasi perdagangan dan pasar untuk perdagangan dan modal asing.  Dan terakhir gelombang keempat, terjadi Tahun 1997. Kala itu, Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dan dalam waktu singkat krisis bermetamorfosis menjadi krisis politik. Dalam situasi terdesak Pemerintah mengundang IMF sebagai ‘dokter’ untuk penyelamatan ekonomi. Maka IMF mengucurkan dana 40 milyar dollar AS sebagai stimulus menjalankan Paket Structural Adjugment Policy dan Paket Kebijakan Deregulasi.[3]
Melihat dari fakta sejarah di atas, ada dua instrumen yang perlu dicatat terkait proses Liberalisasi di Indonesia. Pertama kesepakatan internasional dan instrument hukum (Undang-Undang). Kesepakatan internasional mengandung konsekuensi deregulasi internal. Indonesia harus mampu melakukan penyesuaian struktural terkait kesepakatan internasional yang sudah dibuat. Selain itu, hukum (undang-undang) digunakan sebagai instrument legal untuk memperkuat kesepakatan internasional yang akan dijalankan di dalam negeri. Dua instrument tadi, selalu mewarnai deras laju liberalisasi di Indonesia. Atau boleh di bilang Indonesia dijebak lewat kesepakatan-kesepakatan Internasional.
Maraknya praktek liberalisasi di Indonesia bukan semata atas desakan internasional atau negara-negara donor, melainkan juga didorong oleh kekuatan internal yaitu Oligarki kekuasaan. Meminjam pendekatan Peter Evans, salah seorang penganut teori ketergantungan. Evans memandang dalam negara dunia ketiga ada persekutuan yang dibentuk untuk mempertahankan status quo dan dominasi kelas tertentu yaitu pesekutuan segitiga atau triple alliance. Aliansi tripel terdiri dari modal asing, pemerintah negara dunia ketiga (kekuatan sipil, teknokrat & militer) dan borjuasi lokal dan nasional. Dengan Aliansi tripel inilah kekuatan liberalisasi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing dapat tumbuh subur di dunia ketiga termasuk Indonesia.[4] Hutang digunakan sebagai alat pengikat kesepakatan antara Negara donor dengan Negara penerima. Salah satu kepentingan utama Negara donor adalah kebebasan investasi (penanaman modal). Modal asing disokong oleh pemerintah atau kekuasaan lewat kebijakan undang-undang. Kekuatan militer berfungsi menjaga stabilitas keamanan untuk kenyamanan dan keamanan investasi. Teknokrat dan berjuasi lokal-nasional menjadi perpanjangan tangan dari modal asing, befungsi sebagai mitra dalam menjalankan investasi dan bisnisnya.

Perjanjian perdangangan bebas
Dalam liberalisasi  perdagangan di  Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah menghasilkan dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Hasil perundingan ini merupakan agenda yang ambisius dalam reformasi perdagangan di Sektor  Pertanian. Ada  dua  hal yang  disepakati,yaitu yang pertama; Melaksanakan liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan  aturan permainan GATT  di bidang pertanian; dan yang kedua Setiap   negara   menyusun  besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tariff. Ada tiga  aspek yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay di bidang pertanian, yaitu: pertama; Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan  tarif; kedua; Pengurangan subsidi domestik; dan ketiga Pengurangan subsidi ekspor.

Liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan saat ini mencakup 1.341 jenis barang pertanian, dengan tariff rata-rata pada tahun 1998 sebesar 8,12%.Besaran tarif ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalamcGATT yang menyetujui   penerapan tarif sebesar 40% untuk 1.041 jenis barang, lebih dari 40% untuk 300 jenis barang dan kurang dari 40% untuk 27 jenis barang. Dalam perkembangan  berikutnya, negara-negara maju sampai saat  ini ternyata masih belum sepenuhnya memenuhi komitmen dalam GATT, dengan memberikan proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang dan diekspor ke negara-negara maju. Dengan   pola   perdagangan produk pertanian   dunia   seperti itu, petani di  negar  yang tidak memberikan proteksi  seperti Indonesia telah mengalami kerugian akibat penurunan harga. Dengan tingkat proteksi seperti itu, maka pandangan bahwa kesepakatan GATT/WTO akan segera menciptakan pasar komoditas pertanian dunia yang bersaing bebas adalah keliru dan proteksi dan subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju telah menghambat berlangsungnya penentuan harga yang lebih adil di pasar dunia, sehingga berbagai skenario yang telah disusun oleh GATT/WTO tidak mencapai sasarannya.Dengan melihat kenyataan bahwa perjanjian perdagangan internasional di bawah paying WTO telah merugikan negara-negara berkembang, maka dalam setiap pertemuan yang membahas perdagangan di Sektor Pertanian telah terjadi perdebatan dan membentuk blok-blok sesuai dengan kepentingan setiap negara.Pertemuan terakhir yang dilaksanakan di Cancun, Mexico, mengalami kebuntuan, sehingga negara-negara anggota WTO sepakat untuk menerapkan perjanjian awal yang ditanda-tangani pada bulan Desember 1983.

Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan  regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerja-sama tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.

Persoalan Pertanian di Indonesia
Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan output nasional, seperti yang kita ketahui sektor pertanian memberikan kontribusi 19,1%terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan sektor perekonomian Indonesia. Meskipun secara absolut masih lebih kecil dari sektor lainnya seperti jasa 43,5 % dan manufaktur 23,9%namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 47,1%

Indonesia menganut sistem ekonomi  terbuka  sehingga  keterkaitan  pasar domestik dengan pasar dunia (global) menjadi sulit  dihindarkan,  termasuk  untuk  pasar pangan. Masalahnya, dengan tekanan liberalisasi yang semakin kuat bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan peluang pasar global untuk mendukung ketahanan pangan nasional tetapi  dengan  menghindari  kemungkinan dampak negatif pengaruh liberalisasi terhadap produsen pangan di dalam negeri. Di Indonesia tarif impor komoditas pertanian, kecuali beras dan gula pasir telah diturunkan hingga tinggal 0-5 % dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998.Dengan demikian, sektor pertanian di Indonesia telah mengalami liberalisasi dan hanya mengacu pada sinyal pasar. Meningkatnya  intensitas  kerjasama internasional  ini  tentu akan memberikan pengaruh  terhadap kemudahan arus perdagangan antar negara-negara. Terjadinya penurunan harga akibat produksi dunia yang melimpah akan mengakibatkan banjir impor.

Dengan kondisi yang demikian,bila modalitas sudah ditetapkan, tidak ada kewenangan pihak manapun yang dapat menghalangi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Dengan demikian  isu  utama  bagi  pertanian  secara  umum  adalah  bagaimana  kawasan perdagangan bebas  ini  berdampak positif pada petani. Masyarakat tani di Indonesia tidak dapat menghindari arus perubahan besar globalisasi, salah satu cara yang biasa ditempuh adalah mengikuti dan memanfaatkan arus perubahan besar untuk mengambil kesempatan secara maksimal. Dampak arus globalisasi dalam bidang pertanian adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian impor yang relatif murah karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang besar pada petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar domestik di Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula, kedele, jagung, ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan udang pun masuk dari China ke Indonesia. Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara penyedia input, pasar, industri pengolahan dan lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya Indonesia memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien. Komoditas perikanan, perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat di dalamnya.

Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Namun, terkait dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis oleh pemerintah padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada sektor pertanian. Selain ketidakadilan dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani indonesia adalah rendahnya penerapan tarif produk pertanian impor. Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya tarif impornya sangat tinggi.

Sudah kita ketahui  bahwa Agreement on Agiculuture (AOA dibawa aturan WTO) telah membawa dampak negating  di berbagai Negara anggota WTO termasuk Indonesia. Apalagi setelah 1997 indonesia terkena krisis yang parah sampai kini, yang semakin memberatkan sector pertanian. Pemulihan terhadap sector ekonomi khususnya pada sector pertanian  semakin berat dan untuk itu dibutuhkan upaya yang luar biasa untuk memlihkannya. Karena itu sudah sangat jelas bahwa masalah pertanian  di Indonesia memerlukan penanganan yang intensif dan konprehensif dari pemerintah dan tidak bisa dipulihkan lewat resep liberalisasi pertanian dan pembukaan akses pasar, seperti dengan mengikuti resep Agreement on Agriculture ataupun dengan menghapus tariff bea masuk menjadi 0 % seperti resep IMF.

Sebelum perjanian AOA diberlakukan, Indonesia tercatat sebagai negra eksportir besar ke-9 di dunia. Akan tetapi dalam tahun 1998 tiga tahun setelah perjanjian dilaksanakan,Indonesia tidak lagi tercatat sebagai Negara eksport beras ke-9 melainkan Negara importer beras nomor satu di dunia. Dan juga sebelum AOA diterapkan  perdagangan luar negeri menggunakan pengenaan lisensi import yang terbukti ampuh dalam melindungi komoditas pertanian Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan,dimana sekitar 1000 jumlah komoditas pertanian yang mendapatkan lisensi import namun sejak tahun 1996 turun menjadi 200 komoditas hal ini disebabkan oleh karena adanya penghapusan hambatan non-tarif untuk komoditas yang di ikat di WTO. Sebagaimana diketahui , ada dua jenis tariff yaitu tariff rill (applied tariff) yang selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan tariff yang diikat (bound tariff). Contohnya : tariff untuk beras adalah RP 430/kg yang merupakan 30% dari tariff yang di ikat, dan gula adalah  RP 7000/kg atau 60% dari tariff yang diikat. Dan lebih banyak tariffnya 0% meskipun diikat jauh lebih besar. Seperti jagung,gandum dan kedelai.[5]
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini ;

Table
Nilai impor dan export beberapa komoditas pangan Indonesia sebelum 1984-1994 dan setelah 1995-2000 rezim AOA dalam hitungan $[6]
No
Komoditas
Tahun
Nilai import
Nilai export
1
Beras
1984-1994
648.018.000
216.010.000
1995-200
4.268.200.000
3.264.000
2
Gula
1984-1994
646.063.000
613.000
1995-200
2,311,474.000
10. .169.000
3
Kedelai
1984-1994
1.579.672.000
2.201.000
1995-200
1.314.782.000
281.000
4
Bawang merah
1984-1994
13.989.000
57.000
1995-200
21.786.000
64.000
5
Daging ayam
1984-1994
6877000
6.955.000
1995-200
17.9000.000
12.002.000
6
Telur ayam
1984-1994
1.719.000
2062000
1995-200
21.672.000
1264000
7
Pisang
1984-1994
41.000
10.038.000
1995-200
528.000
66.737.000



8
Mangga
1984-1994
35.000
4,854,000
1995-200
397.000
2.847.000
9
Produk pertanian pangan umum
1984-1994
18.557.124.000
34.309.262.000
1995-200
27.420.381.000
32.624.696.000



Data pada table di atas Nampak seklali bahwa secara keseluruhan telah terjadi inflasi atau kenaikan import besar-besaran setelah berlangsungnya agreement on agriculture, yang berarti mengeser sumber kehidupan petani. Bahkan dalam komoditas pokok seperti beras,gula, dan telur ayam pun sangat terasa lonjakannya. Import beras yang satu dekade sebelum agreement on culture hanya senilai $ 684 juta, dan 6 tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 4,3 milyar. Import gula yang satu dekade sebelum agreement on culture hanya senilai $ 646 juta, dan 6 tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 2,3 milyar. Demikian juga dengan komoditas yang lain juga harganya ikut meningkat secara drastic.

Sementara secara umum eksport tidak banyak meningkat, bahkan anjlok drastic, seperti  eksport beras dari harga senilai $ 210 juta menjadi tinggal $ 3 juta, begitu juga dengan eksport kedelai, dari harga senilai $ 2.2 juta turun menjadi $ 281 ribu. Hal ini berarti, telah terjadi ancaman produk import yang luar biasa yang kemudian dapat menghancurkan kehidupan para petani di Indonesia. Barang-barang impor ini kebanyakan datang dari Amerika Serikat, RRC, Australia beserta negar-negara lain termasuk Negara-negara  anggota ASEAN.

Penutup
Tinggal 1 tahun lagi Indonesia akan bergabung dengan 9 negara anggota Asean dalam ajang komunitas ekonomi asean, yang tidak lain adalah bertujuan untuk mengeksploitasi produk-produk pertanian yang diusahakan oleh para petani Indonesia, ajang AEC merupakan masalah yang sangat krusial bagi Negara Indonesia,dimana semua Negara anggota ASEAN akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia untuk mengambil semua produk pertanian yang ada di Indonesia, apalagi saat ini Indonesia masih dianggap belum siap untuk menerima tamu-tamunya, karena dilihat dari segi insfraktruktur seperti bandara internasional,jalan raya dan lain sebagainya belum dipersiapkan. Selain itu banyak kalangan yang menganggap bahwasannya pertanian Indonesia akan collapse. Agar komoditas pertanian Indonesia tetap terjaga dari akibat adanya liberalisasi perdagangan maka upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pemrintah adalah ; melakukan proteksi terhadap komoditas subtitusi impor,khususnya komoditas-komoditas yang banyak di usahakan oleh petani, seperti jagung,beras,kedelai dan gula. Selain itu juga pemerintah perlu melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi eksport baik secara domestic maupun internasional, terutama komoditas-komoditas perkebunan yang diusahakan oleh petani misalnya karet, kopi, cengkeh, pala, coklat dan lan-lain.
  
Daftar Pustaka :


[1] . https://www.academia.edu/4624849/Karya_Tulis_Perdagangan_Bebas
[2] . Bonnie Setiawan _WTO dan Perdagangan Abad 21 _ p: 109
[3]. Umarhadi, Yoseph. Jebakan Liberalisasi: pragmatisme, dominasi asing, dan ketergantungan ekonomi Indonesia.Cakrawala Institute, Jogjakarta 2010.
[4] . http://blogberii.blogspot.com/2010/12/teori-ketergantungan-dependency.html
[5] . Ridha Amaliyah_dampak penerapan AOA terhadapa tekanan pangan indonesia:kasus kedelai impor” ringkasan skripsi S-1 Jurusan HI universitas Airlangga_ p: 234
[6]. Bonnie Setiawan _WTO dan Perdagangan Abad 21 _ p: 133

Share:

Total Pageviews

Theme Support