Pendahuluan
Konsep
dasar perdagangan bebas timbul dari reaksi terhadap kebijakan-kebijakan
proteksionisme yang dilakukan beberapa Negara yang mengakibatkan ketidak lancarannya proses perdagangan antara Negara.
Pencetus pertama dari konsep perdagangan bebas adalah Adam Smith dalam bukunya
yang berjudul Wealth of Nations ia berpendapat bahwa teori-teori merkantilis
sangat membatasi kuantitas perdagangan.Perdagangan bebas adalah perdagangan
tampa kerumitan birokrasi atau hambatan-hambatan buatan dari suatu Negara yang
bermaksud untuk melindungi produksi dalam negeri seperti tariff, bea impor,kuaota
impor dan lain-lain. Perdangangan bebas mengacu pada system liberalism dalam
perekonomian dimana perdagangan dilepas dengan suatu zona tampa hambatan dan perdagangan tersebut berjalan sesuai dengan mekanisme pasar tampa campur tangan
pihak lain.[1]
Liberasasi
perdagangan dimulai semenjak tahun 1980-an,bersamaan dengan naiknya keijakan
neoliberal secara internasional. Sebelumnya pemerintah lebih banyak menerapkan
kebijakan perdagangan yang proteksionis, melalui penerapan tariff yang tinggi
sesuai strategi industry subtitusi import. Termasuk pemberian monopoli kepada
beberapa pelaku usaha. Dengan mulai
masuknya neo-liberalisme maka secara perlahan tariff mulai dikurangi dan
diberlakukan deregulasi terhadap aturan-aturan perdagan.[2]
Yoseph
Umarhadi dalam bukunya, Jebakan Liberalisasi “pragmatisme, dominasi asing
dan ketergantungan ekonomi Indonesia” dengan mengunakan perspektif dependensia
atau neodependensia sebagai pisau analisanya, menjelaskan fakta terkait praktek
liberalisasi di Indonesia. Menurut Umardhadi ada empat gelombang besar liberalisasi
yang masuk di Indonesia yaitu Gelombang pertama liberalisasi, terjadi
seiring disahkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal
asing. Memberikan keleluasaan untuk investasi modal asing di Indonesia. Gelombang
kedua pada periode 1980-an, dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Juni 1983 dan
Paket Kebijakan Oktober 1988 . Paket deregulasi dan liberalisasi tersebut
menghilangkan peran bank sentral (Bank Indonesia) dan sistem keuangan nasional
diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Gelombang ketiga ditandai dengan
lahirnya WTO (World Trade Organization) pada 1994 sebagai pengganti GATT
(General Agreement On Trade and Tarifs). Perubahan tersebut juga berdampak
langsung bagi Indonesia sebagai anggota WTO. Indonesia sejak 1995 harus
berkomitmen untuk meliberalisasi perdagangan dan pasar untuk perdagangan dan
modal asing. Dan terakhir gelombang keempat, terjadi Tahun 1997.
Kala itu, Indonesia masuk dalam krisis ekonomi dan dalam waktu singkat krisis
bermetamorfosis menjadi krisis politik. Dalam situasi terdesak Pemerintah
mengundang IMF sebagai ‘dokter’ untuk penyelamatan ekonomi. Maka IMF
mengucurkan dana 40 milyar dollar AS sebagai stimulus menjalankan Paket
Structural Adjugment Policy dan Paket Kebijakan Deregulasi.[3]
Melihat
dari fakta sejarah di atas, ada dua instrumen yang perlu dicatat terkait proses
Liberalisasi di Indonesia. Pertama kesepakatan internasional dan instrument
hukum (Undang-Undang). Kesepakatan internasional mengandung konsekuensi
deregulasi internal. Indonesia harus mampu melakukan penyesuaian struktural
terkait kesepakatan internasional yang sudah dibuat. Selain itu, hukum
(undang-undang) digunakan sebagai instrument legal untuk memperkuat kesepakatan
internasional yang akan dijalankan di dalam negeri. Dua instrument tadi, selalu
mewarnai deras laju liberalisasi di Indonesia. Atau boleh di bilang Indonesia
dijebak lewat kesepakatan-kesepakatan Internasional.
Maraknya
praktek liberalisasi di Indonesia bukan semata atas desakan internasional atau
negara-negara donor, melainkan juga didorong oleh kekuatan internal yaitu Oligarki
kekuasaan. Meminjam pendekatan Peter Evans, salah seorang penganut teori
ketergantungan. Evans memandang dalam negara dunia ketiga ada persekutuan yang
dibentuk untuk mempertahankan status quo dan dominasi kelas tertentu
yaitu pesekutuan segitiga atau triple alliance. Aliansi tripel terdiri dari
modal asing, pemerintah negara dunia ketiga (kekuatan sipil, teknokrat &
militer) dan borjuasi lokal dan nasional. Dengan Aliansi tripel inilah kekuatan
liberalisasi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing dapat tumbuh
subur di dunia ketiga termasuk Indonesia.[4] Hutang
digunakan sebagai alat pengikat kesepakatan antara Negara donor dengan Negara
penerima. Salah satu kepentingan utama Negara donor adalah kebebasan investasi
(penanaman modal). Modal asing disokong oleh pemerintah atau kekuasaan lewat
kebijakan undang-undang. Kekuatan militer berfungsi menjaga stabilitas keamanan
untuk kenyamanan dan keamanan investasi. Teknokrat dan berjuasi lokal-nasional
menjadi perpanjangan tangan dari modal asing, befungsi sebagai mitra dalam
menjalankan investasi dan bisnisnya.
Perjanjian
perdangangan bebas
Dalam
liberalisasi perdagangan di Sektor Pertanian, Putaran Uruguay telah
menghasilkan dokumen kompromi pada bulan Desember 1993. Hasil perundingan ini
merupakan agenda yang ambisius dalam reformasi perdagangan di Sektor
Pertanian. Ada dua hal yang disepakati,yaitu yang pertama; Melaksanakan
liberalisasi perdagangan, dengan menerapkan
aturan permainan GATT di bidang pertanian; dan yang kedua Setiap
negara menyusun besaran tarif yang akan diterapkan, serta
melakukan konversi terhadap hambatan non-tarif ke dalam ekivalen tariff. Ada
tiga aspek yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay di bidang
pertanian, yaitu: pertama; Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan
tarif; kedua; Pengurangan subsidi domestik; dan ketiga Pengurangan
subsidi ekspor.
Liberalisasi
perdagangan di Sektor Pertanian yang telah dilakukan saat ini mencakup 1.341
jenis barang pertanian, dengan tariff rata-rata pada tahun 1998 sebesar 8,12%.Besaran
tarif ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Indonesia dalamcGATT
yang menyetujui penerapan tarif sebesar 40% untuk 1.041 jenis
barang, lebih dari 40% untuk 300 jenis barang dan kurang dari 40% untuk 27
jenis barang. Dalam perkembangan berikutnya, negara-negara maju sampai
saat ini ternyata masih belum sepenuhnya memenuhi komitmen dalam GATT, dengan
memberikan proteksi yang besar terhadap produk pertanian yang dihasilkan oleh
negara-negara berkembang dan diekspor ke negara-negara maju. Dengan
pola perdagangan produk pertanian dunia
seperti itu, petani di negar yang tidak memberikan proteksi
seperti Indonesia telah mengalami kerugian akibat penurunan harga. Dengan
tingkat proteksi seperti itu, maka pandangan bahwa kesepakatan GATT/WTO akan
segera menciptakan pasar komoditas pertanian dunia yang bersaing bebas adalah keliru
dan proteksi dan subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju telah
menghambat berlangsungnya penentuan harga yang lebih adil di pasar dunia,
sehingga berbagai skenario yang telah disusun oleh GATT/WTO tidak mencapai
sasarannya.Dengan melihat kenyataan bahwa perjanjian perdagangan internasional
di bawah paying WTO telah merugikan negara-negara berkembang, maka dalam setiap
pertemuan yang membahas perdagangan di Sektor Pertanian telah terjadi perdebatan
dan membentuk blok-blok sesuai dengan kepentingan setiap negara.Pertemuan
terakhir yang dilaksanakan di Cancun, Mexico, mengalami kebuntuan, sehingga
negara-negara anggota WTO sepakat untuk menerapkan perjanjian awal yang
ditanda-tangani pada bulan Desember 1983.
Liberalisasi
perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era
globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi
terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan
perdagangan regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai
aturan kesepakatan kerja-sama tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan
berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.
Persoalan
Pertanian di Indonesia
Sektor
pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Sektor pertanian merupakan sumber
pertumbuhan output nasional, seperti yang kita ketahui sektor pertanian
memberikan kontribusi 19,1%terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari
keseluruhan sektor perekonomian Indonesia. Meskipun secara absolut masih lebih
kecil dari sektor lainnya seperti jasa 43,5 % dan manufaktur 23,9%namun sektor
pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 47,1%
Indonesia
menganut sistem ekonomi terbuka sehingga keterkaitan
pasar domestik dengan pasar dunia (global) menjadi sulit
dihindarkan, termasuk untuk pasar pangan. Masalahnya, dengan
tekanan liberalisasi yang semakin kuat bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan
peluang pasar global untuk mendukung ketahanan pangan nasional tetapi
dengan menghindari kemungkinan dampak negatif pengaruh liberalisasi
terhadap produsen pangan di dalam negeri. Di Indonesia tarif impor komoditas
pertanian, kecuali beras dan gula pasir telah diturunkan hingga tinggal 0-5 % dan
subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998.Dengan demikian, sektor
pertanian di Indonesia telah mengalami liberalisasi dan hanya mengacu pada
sinyal pasar. Meningkatnya intensitas kerjasama internasional
ini tentu akan memberikan pengaruh terhadap kemudahan arus perdagangan
antar negara-negara. Terjadinya penurunan harga akibat produksi dunia yang
melimpah akan mengakibatkan banjir impor.
Dengan
kondisi yang demikian,bila modalitas sudah ditetapkan, tidak ada kewenangan
pihak manapun yang dapat menghalangi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama.
Dengan demikian isu utama bagi pertanian secara
umum adalah bagaimana kawasan perdagangan bebas
ini berdampak positif pada petani. Masyarakat tani di Indonesia tidak
dapat menghindari arus perubahan besar globalisasi, salah satu cara yang biasa
ditempuh adalah mengikuti dan memanfaatkan arus perubahan besar untuk mengambil
kesempatan secara maksimal. Dampak arus globalisasi dalam bidang pertanian
adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian impor yang relatif murah
karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang besar pada
petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar domestik di
Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula,
kedele, jagung, ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan udang pun
masuk dari China ke Indonesia. Beberapa masalah mendasar yang masih banyak
dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara
penyedia input, pasar, industri pengolahan dan lembaga keuangan dengan para
petani kita. Sebenarnya Indonesia memiliki potensi pertanian dan sumber bahan
baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien. Komoditas perikanan,
perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara
profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai
tambah bagi petani yang terlibat di dalamnya.
Persoalan
pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan
produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif.
Namun, terkait dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru
banyak meliberalisasi pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi
kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Subsidi pertanian
seperti subsidi input dikurangi sangat drastis oleh pemerintah padahal
negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap
tahunnya kepada sektor pertanian. Selain ketidakadilan dalam hal subsidi input
dan subsidi ekspor, hal lain yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani
indonesia adalah rendahnya penerapan tarif produk pertanian impor.
Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara maju ditunjukan
dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang
tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian
lainnya tarif impornya sangat tinggi.
Sudah
kita ketahui bahwa Agreement on
Agiculuture (AOA dibawa aturan WTO) telah membawa dampak negating di berbagai Negara anggota WTO termasuk
Indonesia. Apalagi setelah 1997 indonesia terkena krisis yang parah sampai
kini, yang semakin memberatkan sector pertanian. Pemulihan terhadap sector
ekonomi khususnya pada sector pertanian
semakin berat dan untuk itu dibutuhkan upaya yang luar biasa untuk
memlihkannya. Karena itu sudah sangat jelas bahwa masalah pertanian di Indonesia memerlukan penanganan yang
intensif dan konprehensif dari pemerintah dan tidak bisa dipulihkan lewat resep
liberalisasi pertanian dan pembukaan akses pasar, seperti dengan mengikuti
resep Agreement on Agriculture ataupun dengan menghapus tariff bea masuk
menjadi 0 % seperti resep IMF.
Sebelum
perjanian AOA diberlakukan, Indonesia tercatat sebagai negra eksportir besar
ke-9 di dunia. Akan tetapi dalam tahun 1998 tiga tahun setelah perjanjian
dilaksanakan,Indonesia tidak lagi tercatat sebagai Negara eksport beras ke-9
melainkan Negara importer beras nomor satu di dunia. Dan juga sebelum AOA
diterapkan perdagangan luar negeri
menggunakan pengenaan lisensi import yang terbukti ampuh dalam melindungi komoditas
pertanian Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan,dimana sekitar 1000 jumlah
komoditas pertanian yang mendapatkan lisensi import namun sejak tahun 1996
turun menjadi 200 komoditas hal ini disebabkan oleh karena adanya penghapusan
hambatan non-tarif untuk komoditas yang di ikat di WTO. Sebagaimana diketahui ,
ada dua jenis tariff yaitu tariff rill (applied tariff) yang selalu lebih
rendah bila dibandingkan dengan tariff yang diikat (bound tariff). Contohnya :
tariff untuk beras adalah RP 430/kg yang merupakan 30% dari tariff yang di
ikat, dan gula adalah RP 7000/kg atau
60% dari tariff yang diikat. Dan lebih banyak tariffnya 0% meskipun diikat jauh
lebih besar. Seperti jagung,gandum dan kedelai.[5]
Table
Nilai
impor dan export beberapa komoditas pangan Indonesia sebelum 1984-1994 dan
setelah 1995-2000 rezim AOA dalam hitungan $[6]
No
|
Komoditas
|
Tahun
|
Nilai import
|
Nilai export
|
1
|
Beras
|
1984-1994
|
648.018.000
|
216.010.000
|
1995-200
|
4.268.200.000
|
3.264.000
|
||
2
|
Gula
|
1984-1994
|
646.063.000
|
613.000
|
1995-200
|
2,311,474.000
|
10. .169.000
|
||
3
|
Kedelai
|
1984-1994
|
1.579.672.000
|
2.201.000
|
1995-200
|
1.314.782.000
|
281.000
|
||
4
|
Bawang merah
|
1984-1994
|
13.989.000
|
57.000
|
1995-200
|
21.786.000
|
64.000
|
||
5
|
Daging ayam
|
1984-1994
|
6877000
|
6.955.000
|
1995-200
|
17.9000.000
|
12.002.000
|
||
6
|
Telur ayam
|
1984-1994
|
1.719.000
|
2062000
|
1995-200
|
21.672.000
|
1264000
|
||
7
|
Pisang
|
1984-1994
|
41.000
|
10.038.000
|
1995-200
|
528.000
|
66.737.000
|
||
8
|
Mangga
|
1984-1994
|
35.000
|
4,854,000
|
1995-200
|
397.000
|
2.847.000
|
||
9
|
Produk pertanian pangan umum
|
1984-1994
|
18.557.124.000
|
34.309.262.000
|
1995-200
|
27.420.381.000
|
32.624.696.000
|
Data
pada table di atas Nampak seklali bahwa secara keseluruhan telah terjadi
inflasi atau kenaikan import besar-besaran setelah berlangsungnya agreement on
agriculture, yang berarti mengeser sumber kehidupan petani. Bahkan dalam
komoditas pokok seperti beras,gula, dan telur ayam pun sangat terasa
lonjakannya. Import beras yang satu dekade sebelum agreement on culture hanya
senilai $ 684 juta, dan 6 tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 4,3 milyar.
Import gula yang satu dekade sebelum agreement on culture hanya senilai $ 646
juta, dan 6 tahun sesudahnya meningkat mencapai $ 2,3 milyar. Demikian juga dengan
komoditas yang lain juga harganya ikut meningkat secara drastic.
Sementara
secara umum eksport tidak banyak meningkat, bahkan anjlok drastic, seperti eksport beras dari harga senilai $ 210 juta
menjadi tinggal $ 3 juta, begitu juga dengan eksport kedelai, dari harga
senilai $ 2.2 juta turun menjadi $ 281 ribu. Hal ini berarti, telah terjadi
ancaman produk import yang luar biasa yang kemudian dapat menghancurkan
kehidupan para petani di Indonesia. Barang-barang impor ini kebanyakan datang
dari Amerika Serikat, RRC, Australia beserta negar-negara lain termasuk
Negara-negara anggota ASEAN.
Penutup
Tinggal
1 tahun lagi Indonesia akan bergabung dengan 9 negara anggota Asean dalam ajang
komunitas ekonomi asean, yang tidak lain adalah bertujuan untuk mengeksploitasi
produk-produk pertanian yang diusahakan oleh para petani Indonesia, ajang AEC
merupakan masalah yang sangat krusial bagi Negara Indonesia,dimana semua Negara
anggota ASEAN akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia untuk mengambil semua
produk pertanian yang ada di Indonesia, apalagi saat ini Indonesia masih
dianggap belum siap untuk menerima tamu-tamunya, karena dilihat dari segi
insfraktruktur seperti bandara internasional,jalan raya dan lain sebagainya
belum dipersiapkan. Selain itu banyak kalangan yang menganggap bahwasannya
pertanian Indonesia akan collapse. Agar komoditas pertanian Indonesia tetap
terjaga dari akibat adanya liberalisasi perdagangan maka upaya-upaya yang perlu
dilakukan oleh pemrintah adalah ; melakukan proteksi terhadap komoditas
subtitusi impor,khususnya komoditas-komoditas yang banyak di usahakan oleh
petani, seperti jagung,beras,kedelai dan gula. Selain itu juga pemerintah perlu
melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi eksport baik secara
domestic maupun internasional, terutama komoditas-komoditas perkebunan yang
diusahakan oleh petani misalnya karet, kopi, cengkeh, pala, coklat dan
lan-lain.
Daftar Pustaka :
[1]
. https://www.academia.edu/4624849/Karya_Tulis_Perdagangan_Bebas
[3].
Umarhadi, Yoseph. Jebakan Liberalisasi: pragmatisme, dominasi asing, dan ketergantungan ekonomi Indonesia.Cakrawala
Institute, Jogjakarta 2010.
[5] .
Ridha Amaliyah_dampak penerapan AOA
terhadapa tekanan pangan indonesia:kasus kedelai impor” ringkasan skripsi S-1
Jurusan HI universitas Airlangga_ p: 234
Timor leste juga sekarng ini sudh banyak perubahan yg terjdi pada pasar penjualan
BalasHapusTapi tetp kerja keras untuk mencapai Timor leste yag lebih baik lagi
Masalahnya Timor-Leste masih mengandalkan produk impor, belum ada fokus pemerintah dalam peningkatan produksi komoditas lokal. Hingga saat ini, hanya kopi yang menjadi produk lokal andalan di TL.
BalasHapus