Jumat, 02 Juni 2017

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN ALI SYARI'ATI - BEDAH TOKOH


1. Sekilas Tentang Biografi Ali Syariati
            Ali Syariati merupakan anak pertama dari pasangan Muhammad Taqi dan Zahra, Ia dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar, Iran bagian Tenggara. Keluarga Zahra tinggal di Kahak dan Ali dilahirkan dirumah kakeknya dari pihak Ibu. Dia anak pertama sekaligus anak laki-laki satu-satunya didalam keluarga, dengan tiga orang saudaranya, Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsanah). Ali Syariati hidup dalam masyarakat urban kelas menengah kebawah.[i]
            Ali Syariati kecil hidup dimasa perang besar dunia II sedang berkecamuk, tidak terkecuali di Iran. Pada musim semi tahun 1941, sebulan setelah sekutu menginvasi Iran, Ali memasuki tahun pertama di sekolah dasar.[ii] Setelah selesai menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Ibnu Yamin, pada bulan September 1947, Ali memasuki sekolah menengah Firdausi. Ali menyelesaikan tingkat kesembilannya di Firdausi. Meskipun demikian, sebagai ganti meneruskan sekolahnya ke tingkat diploma, dia mengambil jalan lain. Pada tahun 1950, atas permintaan ayahnya, Muhammad Taqi, dia mengikuti ujian masuk di Institut Keguruan (Danesyara-ye Moqadimati) yang ketat.[iii]
            Keterlibatan aktif Ali dalam politik dimula dari periode ini. Dia sudah mengenal politik dan wacana kenegaraan walaupun hanya terbatas pada ranah-ranah diskusi. Ali lulus dari Institut Keguruan pada tahun 1952. Semenjak musim gugur pada tahun yang sama, dia bekerja di Kementrian Pendidikan dan dikirim ke sekolah dasar Ketabpur di Ahmadabad. Selain menulis, Ali Syari’ati mulai pula menyampaikan berbagai ceramah dan kuliah di Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah di Masyhad yang didirikan oleh ayahnya. Markaz Nasyir al-Haqaiq al-Islamiyyah di Masyhad mempunyai andil besar dalam berbagai aktivitas yang terjadi di samping dekade tiga puluhan, dan berpengaruh terhadap kehidupan para praktisi dan kaum terpelajar. Lembaga ini memainkan peran yang sangat besar dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati, dan sebaliknya.
Ketika berumur 23 tahun, Ali Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Di sinilah Syari’ati untuk pertama kali masuk penjara selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim, di bawah pimpinan Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) Cabang Masyhad. Setelah lulus dari Universitas Masyhad ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Sorbonne, Perancis atas beasiswa pemerintah Iran. Di Prancis sendiri, Ali Syariati menemukan lebih banyak sumber ilmu pengetahuan yang tidak ada di Iran pada waktu itu.
Keberadaan Syari’ati di Paris bersamaan pula dengan masa-masa munculnya kebangkitan baru dalam mengembangkan sayap-sayap kemajuan gerakan keagamaan di dalam negeri Iran. Tidak memakan waktu lama, muncullah gelombang gerakan kebebasan yang melanda Iran. Dan penguasapun segera melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-­tokoh gerakan kebebasan negeri ini. Sebagian di antara mereka ditembak mati, dan sebagian lagi dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa secara keji, yang ditujukan pula untuk menghancurkan gerakan nasionalis dan keagamaan, khususnya para tokoh gerakan kebebasan Iran.
Dalam gerakan inilah, Ali Syari’ati termasuk dan melibatkan diri, tanpa henti dia menulis dan memproklamirkan apa yang diyakininya sebagai suatu yang hak serta menganalisa gerakan Islamiyah yang telah terbentuk di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Sementara itu, sebagian besar penerbitan berbahasa Persia di luar negeri selalu saja bernada non agama, bahkan anti agama, sekalipun gerakan di dalam negeri Iran secara fundamental adalah Islamiyah dan seluruh asasnya adalah ideologi keagamaan progresif. Para intelektual Iran di luar negeri cenderung mengabaikan kenyataan sosial dalam negeri Iran serta hakikat perjuangan rakyatnya, karena maksud buruk, persekongkolan diam-diam ataupun kebodohan mereka.
Setelah memperoleh gelar doktor, pada 1964 ia kembali ke Iran. Dalam perjalanan pulang ke Iran, ia ditangkap di perbatasan lalu dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan bahwa ketika sedang kuliah di Prancis ia telah terlibat dalam berbagai aktivitas politik. Setelah dibebaskan pada tahun 1965 ia mulai mengajar di Masyhad University. Sebagai seorang pakar sosiologi muslim, menurut prinsip-prinsip Islam, menjelaskan dan mendiskusikan prinsip-prinsip itu bersama para mahasiswanya. Dalam waktu singkat ia meraih popularitas di kalangan mahasiswa dan berbagai golongan sosial yang berbeda di Iran. Inilah yang dijadikan alasan oleh rezim penguasa untuk menghentikan kuliah-kuliahnya di Universitas.
Pemecatan Syari’ati dari universitas Masyhad tidak menghentikan kegiatan-kegiatannya. Bahkan, kejadian itu memberinya kesempatan untuk memasuki panggung baru sebagai pemikir dan aktivis revolusioner. Ia kemudian pindah ke Teheran dan menjadi anggota dewan pengurus Husayniyah Irsyad. Dengan menjadikan Husayniyah Irsyad sebagai lembaga pengetahuan, penelitian dan dakwah Islam yang besar, Syari’ati berusaha mempersiapkan generasi muda Iran untuk pergolakan revolusioner. Ia mengajari mereka, bahwa Islam bukan hanya susunan kepercayaan yang religius, melainkan pula sebuah ideologi revolusioner yang lain bisa menentang segala bentuk pelanggaran dan gangguan Barat terhadap Iran.
Tahun 1969 adalah masa-masanya yang paling produktif. Salah satu kuliahya di bulan Oktober 1968, diterbitkan dengan judul Ravisy-I Syinakh-I (Approaches to the understanding of Islam, Cara Memahami Islam). Pada tahun 1969 ini juga, otobiografinya berjudul Kavir (Padang Garam) diterbitkan. Sejarah telah mencatat bahwa perjalanan hidup Ali Syari’ati ditumpahkan dalam perjuangan menegakkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan serta melawan segala bentuk eksploitasi dan penindasan dengan menandaskan Islam sebagai basis ideologinya. Perjuangan itu tidak hanya diwujudkan dalam dataran intelektual, namun juga melalui perjuangan praksis. Ali Syari’ati hidup saat Iran digoncang oleh persoalan yang sangat rumit, Iran di bawah pemerintahan Syah Pahlavi telah menggerogoti budaya religius Islam yang mestinya punya tanggung jawab moral terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan kultural masyarakat.
Ketika Syah Iran hendak mengadakan pesta megah 2500 tahun kerajaan Persia, dalam rangka tahun baru Iran (Naruz), Ali Syari’ati bercerita tentang 5000 tahun penindasan di Iran. Pada 13 November 1971, ia melancarkan pidatonya yang terkenal “Tanggung Jawab Seorang Syi’ah”, yang berisi agitasi militan dan revolusioner untuk mengajak mahasiswa-mahasiswanya meruntuhkan rezim Syah. Ali Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama resmi yang disebutnya sebagai “Borjuasi Kecil” bahkan lebih pedas ia mencemooh mereka “sebagai anjing dan keledai” menurutnya, banyak ulama yang berpandangan sangat picik yang hanya bisa mengulang-ulang doktrin Fiqh secara bodoh. Karena kekritisannya, Syari’ati akhirnya dianggap pemerintah Syah sebagai “srigala ganas” yang harus disingkirkan dan dimusnahkan. Ia pun dianggap sebagai seorang “marxisme” dan kemudian dipenjarakan pada tahun 1973.
Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia internasional, pada 20 Maret 1975, terpaksa Syari’ati dibebaskan. Walaupun dibebaskan, Ali Syari’ati tetap diawasi dengan ketat. Menyadari dirinya diawasi dan dibatasi serta tidak bisa berkembang di Iran, Syari’ati pergi ke London, Inggris. Tetapi pada 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di South Hamton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia (SAVAK) Iran.
Syari’ati lalu dikuburkan di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu Nabi dan Saudara perempuan Imam ketiga, Husain bin Ali, pada 27 Juni 1977. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Sadr pemimpin Syi’ah Lebanon. Kematiannya menjadi mitos “Islam militan”, popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.[iv]
2. Revolusi Iran dan Latar Belakangnya
            Pada akhir 1920-an, Reza Syah, seorang perwira militer, merebut kekuasaan dan mendirikan Dinasti Pahlevi. Terimbas oleh langkah rekan sezamannya di Turki, Mustafa Kemal (Attaturk) yang memusatkan perhatiannya pada modernisasi dan pemerintahan terpusat yang kuat serta mengandalkan angkatan bersenjata dan birokrasi modern. Berbeda dengan Attaturk, Syah tidak menghapuskan lembaga-lembaga keagamaan, tetapi hanya membatasi dan mengontrol mereka.
Sejak itu Iran mengalami proses pembentukan negara bangsa yang serupa dengan proses yang berlangsung di Turki dan sejumlah negara lainnya. Negara menjadi motor perkembangan ekonomi dan perkembangan kebudayaan model Barat. Namun berbeda dengan Turki, golongan menengah menjadi kelas penopang utama bagi Rezim Pahlevi. Selain itu, Syah juga mengembangkan angkatan bersenjata baru yang lebih kuat. Banyak ulama yang mendukung pengambilalihan kekuasaan oleh Reza Syah guna memulihkan monarki yang kuat untuk meredam pengaruh asing.
Berakhirnya Perang Dunia II, Inggris dan Rusia sekali lagi mencampuri urusan pemerintah Iran demi kepentingannya. Mereka memaksakan pergantian Syah dan mengangkat putranya yang belum dewasa, Muhammad Reza Pahlevi tahun 1941 sebagai boneka penguasa di Iran. Antara tahun 1941 sampai 1953, Iran menjalani periode pergolakan yang terbuka antara sejumlah protektor asing dan sejumlah partai politik internal. Amerika Serikat lambat laun menggeser pengaruh Inggris dan Rusia, akhirnya menjadi pelindung utama Iran pasca perang. Salah satu alasan utama dari campur tangan Amerika Serikat adalagh kekhawatirannya bahwa Iran akan memperkuat pengaruh Uni Soviet dan komunisme di Iran. Penyelesaian tersebut mengembalikan rezim yang otoriter dan terpusat.
Menurut Hossien Bashiriyeh, ada lima landasan kekuasaan yang dibangun Syah yang kemudian memicu timbulnya revolusi dan menyebabkan jatuhnya Syah. Pertama, kontrol negara yang sangat besar atas sumber-sumber keuangan, khususnya minyak; Kedua, progam stabilisasi, pertumbuhan ekonomi dan intervensi ekonomi rezim kedalam sistem ekonomi; Ketiga, mobilisasi massa dan penciptaan suatu keseimbangan antara kelas-kelas melalui kontrol dan intervensi rezim; Keempat, pembentukan hubungan-hubungan patron client dengan kaum borjuis kelas atas; serta Kelima, diperluasnya peranan kekuatan penekan (khususnya SAVAK), dan ketergantungan pada Barat terutama dukungan politik militer AS.[v]
Pada akhir dekade 70-an, dunia dikejutkan degan peristiwa revolusi Islam yang terjadi di Iran. Revolusi yang oleh beberapa pengamat Barat, seperti John L. Esposito disebut sebagai “Salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat manusia” berhasil menggulingkan rezim otoriter pimpinan Reza Syah Pahlevi. Revolusi ini merupakan hasil suatu proses akumulasi ketidakpuasan rakyat Iran terhadap kebijakan Syah, baik di bidang ekonomi, politik, agama maupun sosial budaya. Keberhasilan revolusi itu banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Di satu pihak, terciptanya persatuan di antara kelompok-kelompok penentang Syah, baik yang berpaham Nasionalisme (Front Nasional), Islamisme (organisasi-organisasi yang dibentuk oleh para mullah) maupun yang berpaham Marxisme (Mujahiddin dan Fayden Khalq). Di lain pihak, muncul kelompok ulama seperti Ayathullah Murthada Muthahari, Ayatullah Khomeini sebagai lambang pemersatu, serta tokoh intelektual seperti Ali Syariati sebagai konseptor akar ideologi revolusi. Hal ini dimungkinkan oleh tradisi dan ideologi Islam Syi’ah yang berakar kuat di kalangan rakyat Iran.
Revolusi Islam Iran melahirkan konfigurasi yang khas antara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah masyarakat Iran. Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan politik antara penguasa Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, akibatnya terjadi perubahan fundamental dalam sistem kenegaraan Iran yang berpengaruh terhadap sistem Pemerintahan Iran sampai sekarang.[vi]
3. Pemikiran Ali Syari’ati
            Ali Syariati merupakan sosok yang sukar untuk dipahami. Di satu sisi, dia pernah dianggap sebagai seorang Marxis, tetapi disisi lain, dia juga tidak jarang menulis artikel dan buku tentang keislaman. Guru pertama Ali Syariati adalah ayahnya sendiri, Muhammad Taqi Syariati. Dari ayahnya itu pula, Ali sudah terbiasa bergelut dengan dunia buku melalui perpustakaan milik ayahnya. 
Ketika Ali Syariati di Sorbone Prancis, ia menjalin hubungan secara pribadi dengan para intelektual terkemuka, seperti Louis Massignon, seorang Islamolog Perancis beragama Katholik, Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialism dan Jacques Bergue. Dia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus. Ali Syari’ati sangat tertarik untuk mempelajari studi keislaman dan sosiologi. Aliran sosiologi Prancis yang analitis dan kritis rupanya sangat berkesan padanya, namun meskipun pernah tertarik oleh sosiologi semacam ini, pandangan sosiologi Syari’ati adalah gabungan antara ide dan aksi. Pendekatan positivis terhadap masyarakat yang menganggap sosiologi sebagai ilmu mutlak, maupun pendekatan Marxis murni baginya tidaklah menyakinkan. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu memahami atau menganalisa kenyataan-kenyataan di dunia non industri, yang sering disebut sebagai dunia ketiga. Karena itu, Syari’ati terus mencari sosiologi yang bisa menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang berada di bawah tindakan imperialisme, yang akhirnya disetujui oleh kaum komunis Eropa, dalam perjuangan mereka merebut kembali martabat dan kemerdekaan.
George Gurvich, profesor sosiologi Universitas Sorbonne sangat berpengaruh pada diri Ali Syari’ati. Gurvich adalah seorang komunis yang membelot melawan kediktatoran Stali, fasisme dan penjajahan Perancis atas Aljazair. Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan melawan ketidakadilan ini sedikit banyak membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dari dia pula, Ali Syari’ati menyerap pandangan tentang konstruksi sosiologi Marx, khususnya analisis tentang kelas sosial. Dari Jaegues Berque, Syari’ati menyerap wawasan sosiologi Islam, sedangkan dengan Fanon, ia sering berkorespondensi dan saling bertukar ide tentang peran Islam seputar tema anti kolonialisme.
Dalam pergerakan di Perancis itu, Syari’ati menjadi redaktur jurnal Iran-e Azad (free Iran) yang baru didirikan organisasi itu. Dia juga menulis di jurnal Nameh-e Par, dan menyumbangkan revolusioner al-Jazair, al-Mujahid. Karena peduli dengan gerakan revolusi dunia ketiga itulah, Syari’ati akrab dengan pemikiran, seperti Franz Fanon (wafat 1961), Aime Cesaire dan Amilcar Cabral (wafat 1973). Bahkan dia sempat ditahan karena memberikan kuliah kepada para mahasiswa revolusioner Kongo. Satu sumber menyatakan bahwa, Syari’ati ditahan di Paris karena aktivitasnya dalam gerakan pembebasan Aljazair dan dikirim ke City Prison.
            Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syariati berbeda dengan pemahaman mainstream saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syariati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustadâfin).
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syariati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani “polis” (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan seokor kuda liar,”, suatu proses yang mengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Islam, dalam pandangan Syariati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
”Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khaffah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujahid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlid) kepada ulama”.[vii]
Sikap yang ditunjukkan Ali Syariati jelas ditekankan untuk para ulama yang pada waktu itu cenderung lebih bersikap pasif dan lebih memihak kepada Rezim Pahlevi.
Ali Syariati juga menawarkan sebuah konsep yaitu rausyanfikr atau ‘orang-orang yang tercerahkan’ sebagai upaya kritis terhadap pemikiran para ulama yang mendukung kekuasaan Rezim Pahlevi. Peran rausyanfikr dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak.
Bagi Syari’ati, rausyanfikr adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosial-politik akibat peran katalis rausyanfikr.
Ali Syari’ati juga berpendapat bahwa revolusi sosial bukan hanya suatu keharusan tapi juga suatu keniscayaan.  Pemikirannya ini didasarkan pada teori determinisme-historis.  Dalam teori tersebut, sejarah masyarakat manusia bergerak secara siklis, dimana tahap pertama merupakan masa jaya sistem Habil. Selanjutnya, pada tahap kedua, terjadi pergeseran.  Masyarakat dikuasai sistem Qabil. Di akhir tahapan, sistem Habil kembali merebut kendali masyarakat. Transisi antara tahap kedua dan tahap ketiga berbentuk revolusi sosial.  Revolusi sosial berarti bahwa pelaku utama revolusi tersebut adalah massa atau rakyat (al-nas).  Kendalanya, al-nas tak selalu sadar akan kondisi ketertindasan mereka dalam masyarakat Qabilian. Oleh karena itu, dibutuhkan figur yang “memicu dan menumbuhkan” kesadaran akan adanya konflik dialektis di masyarakat. Figur tersebut adalah rausyanfikr. Rausyanfikr bekerja tidak dengan tangan kosong.  Ia menggerakkan kesadaran revolusioner massa dengan instrumen ideologi.  Jadi, aktor proses kelahiran revolusi sosial adalah rausyanfikr, dan pelaku gerakan revolusinya sendiri adalah al-nas (massa, rakyat).
Sumbangan yang paling monumental dari pemikiran Ali Syari’ati adalah tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami “ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, karena sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Catatan Kaki


[i] Ali Rahmena, ‘Ali Syariati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner’, Erlangga, Jakarta 2000. Hal. 53
[ii] Ibid,. Hal. 55
[iii] Ibid,. Hal. 59-60
[iv] http://www.referensimakalah.com/2012/11/biografi-ali-syariati.html
[v] Ira Lapindus, ‘Sejarah Sosial Umat Islam’ Bagian 3, Terj. Ghufron A. Mas’adi, Raja Grafindo, Jakarta 1999. Hal. 48-49
[vi] Akhmad Satori, ‘Sistem Pemerintahan Iran Modern’, RausyanFikr Institute, Yogyakarta 2012. Hal. 71-72
[vii] http://www.mustikoning-jagad.com/en/index.php?option=com_content&view=article&id=901:ali-syariati-islam-agama-pembebasan&catid=36:spiritualitas&Itemid=55
Share:

0 Comment:

Posting Komentar

Monggo, Jika Anda Ingin Komentar, Tapi Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan.
Monggo, Jika Anda Ingin Kritik, Tapi Tolong Kritik Yang Membangun.

Total Pageviews

Theme Support