Aku tak mengerti mengapa kita harus berjumpa. Dari sekian
banyak orang mengapa harus Engkau yang kujumpai? Suatu perjumpaan yang
menyimpan rindu dan gelora asmara dalam dada. Aku adalah pribadi yang otonom,
berdiri dengan kekuatan sendiri di tanah perantauan, meski Aku sadar Aku tak
pernah sendiri. Kepribadian yang selalu otonom membuat banyak orang yang
menilai diriku sebagai orang yang keras-kepala. Kendati demikian, kehadiranku
yang real tak pernah lepas dari persoalan, aneka ragam permasalahan selalu
datang menghapiriku. Semua itu ku hadapi dengan penuh senyuman dan penuh
semangat, sebab Aku percaya tak ada cobaan yang hadir tanpa adanya hikmah. Terkadang
ketidakberdayaan memjemputku hingga membuatku harus menjerit ingin menyerah.
Kendati demikian, Aku tetaplah Aku, dengan segala yang dianugerahkan oleh Sang
Penguasa, Aku bukan Engkau, bukan juga Dia.
Aku tak dapat menegasikan diri dari pengalaman perjumpaanku
dengan pribadi yang Aku sebut Engkau. Engkau itu ternyata lain dari yang lain
yang pernah Aku temui. Engkau menebarkan pesonamu membuatku terpesona hingga
menarik diriku ke dalam cintanmu. Namun Aku masih tetap sadar bahwa Aku bukan
orang yang mudah Engkau taklukkan. Aku sadar jika Aku sudah mempunyai daya
pikat, sehingga kala Engkau mengungkapkan sebongkah nada hatimu, kusambut
dengan ketulusan dan sucinya hatiku. Awalnya memang Aku belum mengerti apa yang
ada diantara kita. Aku mencoba menelusurinya lebih jauh lagi. Hingga Aku
menemukan rasa yang teramat sulit untuk ku ungkapkan. Rasa itu melekat pada
diriku. Aku berpikir dan merasa bahwa kita tidak boleh berpisah. Namun,
kenyataan berkata lain, Engkau dan Aku memiliki perbedaan yang tak mungkin
disatuhkan. Kadang Aku berpikir mungkin perbedaanlah yang membuat kita saling
memikat. Kadang juga aku bertanya, dapatkah perbedaan ini menyatukan dua hati
menjadi satu? Ataukah justru sebaliknya, perbedaan ini memaksakan kita memilih
untuk berpisah? Serentetan pertanyaan berkecamuk dalam jiwaku, membuat Aku
sulit untuk mengambil keputusan, Aku terus bergulat dengan pikiranku sendiri
antara menolak atau meneruskan cinta yang tengah bersemi dalam hati.
Pada suatu kesempatan pernah kuputuskan untuk meninggalkan
Engkau dan Aku pun mencoba untuk melepaskan diri dari keterikatan batinku
padanmu. Aku sadar bahwa keputusanku adalah sebuah keterpaksaan. Semuanya
karena didominasi oleh rasa religiositas pribadi serta pengaruh suara oleh
suara lingkungan tempat Aku memijakkan kaki. Aku takut dinilai keliru meski
nuraniku berbisik bahwa itu bukan kesalahan. Aku tak tahu harus bagaimana lagi
selain mengambil keputusan untuk meninggalkanmu walaupun jiwaku bergulat sesak.
Situasi itu mengajakku ingin membuka kisah baru. Membuka
lembaran baru yang menjauhkan pikiranku dari rasa religositas. Dan kini
Aku menjalin kasih dengan pribadi yang kusebut Dia. Dia menaruh minat dan
perhatian padaku. Hari-hari kulalui bersamanya. Namun, tak dapat kuberbohong
pada diriku, rasanya Dia tak terlalu mendapat tempat di hatiku walaupun Dia dan
Aku mempunyai persamaan keyakinan. Dia hanyalah sebagai daerah pelimpahan rasa
kangenku pada pribadi yang kusebut Engakau. Aku sendiri tak dapat mengingkari
kenyataan itu. Sesungguhnya Aku memiliki rasa rinduku pada sosok yang ku sebut
Engkau dan betapa aku ingin kembali kepada pelukannya. Tapi aku bingung, entah
harus bagaimana? Meninggalkan Dia yang sekarang, berarti hanya menambahkan luka
dalam hatinya. Kembali kepada Engkau yang dulu, yang pernah aku tinggalkan
artinya aku harus rendah hati untuk mengungkapkan maaf. Muncul pertanyaan baru,
apakah Engkau masih menerima Aku kembali? Ahhh, Biarlah waktu yang beretorika.
Kini aku hidup dalam angan-angan, wacana pengandaianpun
kubuka. Seandainya Engkau tidak menerimaku kembali, mungkin Aku harus bersikap
realistis meski berat rasanya. Tetapi seandainya Engkau menerimaku kembali Aku
tentu bersyukur. Namun, apakah Aku harus meninggalkan rasa religiositas
pribadiku dan menikati rasa religiositasmu agar kita sekeyakinan, sepaham dan
sekonsep? Bila kuputskan hal itu berarti Aku harus menanggung cercaan dan
hinaan dari seluruh kerabat keluarga, kalaupun kita tetap mempertahankan
keyaknan kita masing-masing, apakah seluruh keluarga dan lingkungan menerima keputusan
kita? Persoalan religiositas adalah persoalan yang sangat sensitif.
Seandainya Tuhan punya kehendak lain dimana kita dapat
bersatu dan tak ada lagi yang sanggup memisahkan kita, itu berarti kita
membangun institusi baru yang orang sebut keluarga. Namun bagaimana
dengan religiositas anak-anak kita nanti? Pendidikan apa yang akan kita
suguhkan ke mereka? Memang kebanyakan orang dalam masyarakat tradisional di
Asia dan Afrika, Agama menjadi dasar pijakan dalam pendidikan. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa benih kejahatan seperti terorisme banyak dihasilkan oleh
bangsa-bangsa Asia yang dinilai sebagai benua yang menghasilkan agama-agama
besar di dunia ini. Aku memang mempunyai keyakinan bahwa setiap agama
mengajarkan tentang kebaikan. Dan dalam setiap agama tentu berbeda. Dalam
pengamatan, agama untuk konteks masyarakat dimana Aku berada adaalah agama
keturunan yang artinya agama yang diwariskan oleh orangtua kepada anak-anaknya.
Lantas agama apa yang akan kita wariskan kepada anak-anak
kita kelak mereka lahir? Nurani berbisik, ego setiap pribadi harus
ditinggalkan, artinya tak ada pemaksaan kehendak terutama pada saat anak
beranjak dewasa. Keputusan bebas seorang anak harus dihargai. Saling memberikan
pemahaman tanpa berpretensi menghina atau meremehkan agama yang lain mesti
punya tempat yang luas. Orang yang hidup dalam cinta pasti memiliki jalan
menuju kebahagiaan atau kebaikan bersama, atau dalam bahasa latin yang
sering disebut sebagai bonum commune. Disini agama mesti bersifat inklusif bukan
eksklusif, konsep ini tentu harus menjadi konsep dan komitment bersama.
Aku sadar, ini bukanlah hal yang mudah. Keteguhan mental
spiritual diandalkan dan wawasan luas yang kokoh dipertaruhkan. Entah Aku
sanggup atau tidaknya biarlah waktu yang menjawab semuanya. Tentu Aku juga
tidak bisa terus menrus hidup dalam dunia pengandaian dengan aneka pertanyaan
yang penuh dengan dilematis. Aku harus berani memulai. Sebab, perjalanan yang
jauh sekalipun tetap dimulai dengan sebuah langkah. Aku mesti mencoba kembali dan
menjalin relasi untuk saling mengenal lebih jauh sebelum mengambil keputusan
final. Jika ini kehendak Tuhan, pasti ia akan bertahan, jika tidak, lambat laun
ia akan berakhir dengan sendirinya. Ya... jalani aja hidup ini dengan
kesetiaan. Setiap kesalahan mengandung janji kemenangan dan setiap kegagalan
selalu mengandeng kesuksesan.