Rabu, 17 Mei 2017

Strategi China Menguasai Kepulauan Paracel-Spratly Sebagai Salah Satu Wilayahnya Di Laut China Selatan

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
      Kepulauan Paracel-Spratly merupakan sekumpulan pulau di sekitar Laut China Selatan. Kepemilikan daerah ini masih dipersengkatan antara beberapa negara yang mengklaim memiliki hak dalam kepemilikan gugusan pulau Paracel dan Spratly. China, Taiwan dan 4 negara ASEAN, yaitu Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei, sama-sama mengklaim kepemilikan sebagian atau semua wilayah yang ada di kepulauan Paracel-Spratly

          Perebutan wilayah Paracel-Spratly dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang lebih luas antara beberapa negara yang mengklaim kepemilikan wilayah tersebut. Pada tahun 1974, China mengambil pulau Paracel dari Vietnam yang menyebabkan beberapa tentara Vietnam meninggal. Pada tahun 1988, kedua belah pihak kembali berkonflik di seputar pulau Spratly yang menyebabkan sekitar 70 personil Vietnam tewas, sedangkan dari pihak China sebanyak 18 personil tewas dalam konflik tersebut. Konflik dalam skala kecil juga terjadi dalam sengketa kepemilikan kepulauan Paracel-Spratly antara China, Vietnam, Filipina dan Malaysia.[1]

China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar dari wilayah Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. Pihak China mengklaim pulau Paracel dan Sratly berdasarkan pada alasan historis yang menyatakan bahwa pulau Paracel-Spartly merupakan bagian dari China melalui sejarah ekspedisi laut Dinasti Han pada tahun 110 M dan Dinasti Ming tahun 1403-1433 M.[2] China mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China menerbitkan sebuah peta yang merinci klaim wilayahnya yang menyertakan kedua kepulauan tersebut sebagai bagian wilayah China.

Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China, juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama. Taiwan yang tidak mengakui sebagai bagian dari China mengklaim sebagian kepulauan Paracel, mengingat letak geografisnya yang lebih dekat dengan Taiwan daripada China.

Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut. Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly sejak abad ke-17.

Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang kerap menjadi sengketa adalah Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan terdekat China. Klaim Filipina berdasar pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal pengukuran lebar laut teritorial.

Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly. Militer Malaysia telah menduduki tiga pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian terselatan Spratly. Baik Malaysia dan Brunei Darussalam menggunakan aturan dari Konvensi yang ditetapkan oleh PBB tentang batas laut.[3]

Gugusan Pulau Paracel-Spratly menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang melimpah. Menurut data yang dikutip dari US Energy Information Administration (EIA), pihak China memperkirakan cadangan minyak yang ada dalam wilayah tersebut mencapai sekitar 213 miliar barel[4], 10 kali lipat dari cadangan minyak Amerika Serikat. Sumber daya alam terbesar yang dimiliki di kawasan itu adalah gas alam. Diperkirakan bahwa cadangan gas alam sebesar 900 triliun kubik, jumlah yang setara dengan cadangan gas alam yang dimiliki Qatar. Selain sumber daya alam, wilayah kepulauan Paracel-Spratly kaya akan hasil laut. 

Disamping itu, wilayah ini merupakan jalur pelayaran Internasional yang sangat penting untuk kepentingan perdagangan dan militer. Jalur ini sering disebut sebagai maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati selat Malaka dan bagian barat daya Laut China Selatan bahkan lebih dari tiga kali lalu lintas yang melewati terusan Suez dan lebih dari lima kali lipatnya terusan Panama.[5]

Pelayaran komersil di Laut China Selatan di dominasi oleh bahan mentah yang menuju negara- negara Asia Timur dan yang melewati Selat Malaka dan kepulauan Spratly sebagian besar adalah kargo cari seperti minyak mentah dan gas alam cair (LNG), sementara kargo kering kebanyakan batu bara dan bijih besi. Setengah volume kargo yang melewati kepulauan Spratly adalah minyak mentah dari Teluk Persia. Pengangkutan LNG melewati Laut China Selatan mewakili dua pertiga dari perdagangan LNG seluruh dunia menuju Jepang, Korea dan Taiwan.[6]

Hasil kekayaan alam dan laut kepulauan Paracel-Spratly menimbulkan keinginan dari sebagian negara untuk dapat memilikinya, termasuk China. Negara Tiongkok tersebut mengklaim bahwa seluruh kepulauan Paracel-Spratly merupakan wilayah China yang masuk dalam provinsi Hainan. Klaim pihak China tersebut mencakup hampir sebagian besar wilayah Laut China Selatan.

B.       Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dilihat pokok permasalahan yang mendasari lahirnya penelitian ini adalah :
Apa kepentingan China dengan mengklaim kepulauan Paracel-Spratly sebagai salah satu wilayahnya?

C.      Kerangka Teori
Dalam menjelaskan suatu masalah dalam hubungan internasional, maka diperlukan kerangka pemikiran yang dapat menjawab persoalan tersebut. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa pendekatan teori atau konsep yang dipakai dalam menjelaskan rumusan masalah, antara lain :
Pertama, konsep power. Konsep power (kekuasaan; kekuatan) menempati posisi yang istimewa dalam studi politik dan hubungan internasional. Ilmuan dibidang ini sejak zaman Yunani kuno menganggap power adalah unsur utama tindakan politik. Hans. J Morgenthau bahkan mendefinisikan politik, dalam negeri maupun internasional, sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan. Kautilya, tokoh negarawan India kuno yang menulis karya besar pada abad ke 4 SM, menafsirkan power sebagai “kepemilikan kekuatan” (bersifat atribut) yang berasal dari tiga unsur: pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian. Dua puluh tiga abad kemudian, Hans Morgenthau memilih mendefinisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B (bersifat hubungan). Jadi, power menurut Morgenthau,
“bisa terdiri dari apa saja yang menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang atas orang lain (dan itu) meliputi semua hubungan sosial yang mendukung tujuan (pengendalian) itu, mulai dari kekerasan fisik sampai ke hubungan psikologis yang paling halus yang dipakai oleh pikiran seseorang untuk mengendalikan pikiran orang lain.”[7]
Menurut Coulumbis dan Wolfe, mendefinisikan power secara lebih luas, yaitu merujuk pada apa saja yang bisa menciptakan dan mempertahankan pengendalian aktor A terhadap aktor B. Dalam hal ini, power memiliki tiga unsur penting. Pertama, adalah daya paksa (force), yang bisa didefinisikan yang bisa didefinisikan sebagai ancaman eksplisit atau penggunaan kekuatan militer, ekonomi, atau sarana pemaksa lainnya oleh aktor A terhadap aktor B demi mencapai tujuan politik A. Unsur kedua adalah pengaruh (influence), yang bisa didefinisikan sebagai penggunaan alat-alat persuasi (tanpa kekerasan) oleh aktor A demi menjamin agar perilaku aktor B sesuai dengan keinginan aktor A. Unsur ketiga adalah wewenang (authority), yaitu sikap tunduk sukarela aktor B pada arahan (nasehat, perintah) yang diberikan oleh aktor A. Sikap tunduk ini muncul dari persepsi B tentang A, misalnya penghormatan, solidaritas, kasih sayang, kedekatan, mutu kepemimpinan, pengetahuan dan keahlian. 

Coulumbis dan Wolfe juga memberi perhatian terhadap kekuasaan sebagai tujuan dan kekuasaan sebagai sarana. Sebagian besar ilmuan menganggap kekuasaan sebagai “sarana”. Artinya kemampuan untuk mengendalikan perilaku orang lain adalah sarana untuk mencapai tujuan lain, yang mungkin lebih tinggi atau berjangka lebih panjang. Kalau tujuan jangka panjang itu meliputi nilai-nilai seperti perdamaian, keamanan, kemajuan nasional, pembangunan ekonomi, penyebaran demokrasi atau penyebaran komunisme, maka power dinggap penting sebagai “mata uang” (sarana) untuk “membeli” nilai-nilai itu (tujuan). Tetapi, ilmuan-ilmuan lain, terutama penganut realisme, memandang power sebagai sarana sekaligus tujuan tindakan politik. Dengan kata lain, penganut realisme menganggap tujuan-tujuan mesianisme (perdamaian, kemajuan atau kesejahteraan) tidak mungkin diterapkan untuk jangka pendek dan karena itu tidak relevan dengan proses politik yang sebenarnya, karena proses politik selalu berorientasi pada tujuan jangka pendek. Menurut jalan pikiran ini (yang menekankan pelestarian diri sebagai tujuan utama suatu negara) power, yang bisa “membeli” keamanan, menjadi tujuan.
Untuk dapat memahami konsep power secara lebih detail, perlu dipahami juga bagaimana realisme coba memandang dunia. Bagaimanapun juga, konsep power dalam hubungan internasional tidak dapat terlepas dari pemikiran kaum realis. Berikut merupakan ide dan asumsi dasar kaum realis adalah : (1) pandangan pesimis atas sifat manusia; (2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; (3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; (4) skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.[8]

Dalam pemikiran kaum realis, manusia dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas terhadap terhadap keselamatan dirinya dalam hubungannya dengan yang lain. Kondisi seperti diatas juga dibawa dalam ranah hubungan internasional. Suatu negara, dalam terminologi realis, akan selalu terancam dengan negara lain.
“Nearly all of our realist paradigms place fear, honor and interest at the core of human nature and state motivation”[9]
Dari pernyataan diatas terlihat jelas bahwa kaum realis menganggap bahwa rasa kecemasan dan kepentingan diri selalu menyelimuti kehendak manusia dan negara. 

Negara pada dasarnya mencari kekuatan atau hegemoni dalam hubungan interaksinya dengan negara lain. Mereka terus-menerus berjuang untuk menjadi yang terkuat dibandingkan yang lain, termasuk dalam logika hubungan internasional. Pandangan kaum realis berasumsi bahwa politik dunia berkembang atas dasar anarki international. Anarki, bagaimanapun juga, menjadi bagian penting dalam menjelaskan dominasi kekuatan politik (power politics) dalam hubungan internasional.[10] Negara menjadi aktor utama dalam hubungan internasional.

Keinginan untuk berkuasa (the will to power) menjadi alur berpikir dalam paradigma realis. Hampir setiap negara yang ada didunia, mempunyai keinginan untuk mendapatkan ‘power’ tersebut. Konsep power disini dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, langsung atau tidak langsung, agar alur pemikirannya sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan. 

Menurut Machiavelli, kekuasaan dan penipuan adalah dua alat penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri. Nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu kemerdekaan. Tanggung jawab utama penguasa adalah selalu mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kelangsungan hidupnya. Teori realis klasik hubungan internasional Machiavelli merupakan teori kelangsungan hidup negara.  Pelaksanaan kebijakan luar negeri merupakan aktifitas instrumental atau “Machiavellian” berdasarkan kalkulasi kekuatan dan kepentingan suatu negara terhadap kekuatan dan kepentingan musuh dan pesaing.[11]

Kedua, konsep kepentingan nasional. Kepentingan Nasional atau National Interest sangat berhubungan erat dengan  teori realis. Dalam pendekatan teori realis, kepentingan nasional dapat diartikan sebagai unitary actor yang penekanannya pada peningkatan national power (kekuatan nasional) untuk mempertahankan keamanan nasional dan proses keberlangsungan hidup (survive) dari negara tersebut.[12] Konsep keberlangsungan hidup suatu negara menjadi sesuatu yang diperjuangkan dalam kepentingan nasional. 

Konsep kepentingan nasional (interest) yang didefinisikan dalam istilah ‘power’, menurut Morgenthau, berada diantara akal, nalar atau ‘reason’ yang berusaha untuk memahami politik internasional dengan fakta-fakta yang harus dimengerti dan dipahami. Dengan kata lain, power merupakan instrumen penting untuk mencapai kepentingan nasional.[13]

Morgenthau berpendapat bahwa strategi diplomasi didasarkan pada kepentingan nasional suatu negara. Kepentingan nasional tersebut digunakan untuk mendapatkan ‘power’ yang bisa digunakan untuk membentuk dan mempertahankan pengendalian atas negara lain. Dengan adanya power, maka suatu negara mempunyai kedudukan yang lebih, terutama dalam bidang diplomasi. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui cara preventif ataupun kerjasama (cooperation). Karena itu, kekuatan nasional (national power) dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana sekaligus tujuan dalam proses keberlangsungan hidup (survive) suatu negara dalam politik internasional.

Menurut Jack C. Plano, terdapat beberapa elemen kekuatan nasional, baik yang bersifat alam maupun buatan. Elemen tersebut meliputi geografi (posisi wilayah), sumber daya alam, populasi penduduk, kemajuan industri, sistem transportasi dan komunikasi, sistem pendidikan, militer, lingkungan politik - ekonomi - sistem sosial, kualitas dan kemampuan diplomasi dan yang terakhir adalah moral penduduk.[14] Dari elemen kekuatan nasional suatu bangsa, maka bangsa tersebut dapat mewujudkan kepentingan nasional (national interest) dari negara tersebut. 

Salah satu kepentingan dan kekuatan nasional suatu bangsa adalah masalah ekonomi. Ekonomi menjadi isu kepentingan nasional yang mendapat perhatian besar bagi sebagian negara karena mempengaruhi bagaimana proses keberlangsungan hidup negara tersebut disamping menjadi salah satu dari instrumen kekuatan nasional suatu negara. China yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi, harus menjaga segala kebutuhan ekonominya agar dapat tetap stabil, termasuk instrumen pendukungnya seperti minyak mentah dan gas alam. Kekayaan alam tersebut menjadi hal yang sangat penting bagi negara China. Suatu pemerintahan akan mempergunakan berbagai cara untuk melindungi kepentingan ekonomi negara tersebut, termasuk menggunakan cara-cara kekerasan, tidak terkecuali China. 

Ketiga, pendekatan tujuan kebijakan luar negeri. Menurut Morgenthau, terdapat hubungan (connection) logis antara kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri saling terkait dengan kepentingan nasionalnya. Dalam hubungan internasional, kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 

Setiap negara pasti mempunyai kebutuhan dan tujuan yang merupakan cerminan dari kebutuhan dan tujuan masyarakat yang hidup dalam negara tersebut. Sebagian besar pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara terkait dengan pemecahan masalah sehari-hari yang muncul, baik di dalam dan luar negeri. Namun, kebanyakan pemerintah juga mempunyai beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penataan berbagai tindakan untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk tujuan yang menyangkut masalah-masalah khusus (misal, konflik) ataupun masalah-masalah yang sudah umum.[15]

Istilah ‘kepentingan nasional’ sendiri sering salah diartikan sebagai alat untuk menganalisis tujuan bangsa. Kenyataannya, telah terjadi perdebatan ilmiah berkepanjangan mengenai arti konsep ini, namun hanya sedikit kesepakatan yang dicapai. Walaupun mungkin terdapat kepentingan nasional yang bersifat tetap seperti pemeliharan diri yang disepakati banyak orang, namun tidak seorang pun dapat mengklaim dengan pasti bahwa setiap tujuan khusus atau tujuan lainnya merupakan kepentingan nasional.
Poin kedua yang patut digarisbawahi mengenai konsep tujuan kebijakan luar negeri adalah bahwa pemerintah sering mengejar sejumlah tujuan yang bertentangan pada waktu yang sama. Tugas pembuat kebijakan adalah menggolongkan dan memilih tujuan-tujuan yang bertentangan dan memutuskan mana yang dapat dicapai pada serangkaian keadaan khusus.[16]
 
Dilihat dari nilai, unsur waktu dan jenis tuntutan yang diletakkan pada konsep tujuan kebijakan luar negeri, maka dapat dikategorisasikan menjadi berikut :
1.      Kepentingan dan Nilai ‘Inti
Kepentingan dan nilai ‘inti’ dapat digambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya. Nilai dan kepentingan ini biasanya dikemukakan dalam bentuk asas-asas pokok kebijakan luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima masyarakat tanpa sikap kritis. Kepentingan dan nilai ‘inti’ seringkali dihubungkan dengan pemeliharaan diri suatu unit politik. Kepentingan dan nilai inti ini merupakan tujuan jangka pendek, karena tujuan lain jelas tak dapat dicapai apabila unit politik yang mengejarnya tidak mempertahankan eksistensinya sendiri. Definisi yang tepat dari nilai atau kepentingan ‘inti’ di negara tertentu tergantung pada sikap mereka yang membuat kebijakan. Sekalipun demikian, kebanyakan pembuat kebijakan mengira bahwa tujuan yang paling utama dari kebijakan luar negeri adalah menjamin kedaulatan dan kemerdekaan wilayah nasional dan mengekalkan sistem politik, sosial, dan ekonomi tertentu berdasarkan wilayah itu.
Beberapa pemerintah menempatakan nilai yang sama tinggi pada pengendalian atau pertahanan wilayah tetangga, karena kawasan ini didiami oleh penduduk yang secara etnis bersaudara atau mempunyai sumber daya nasional seperti tenaga buruh dan bahan mentah yang dapat meningkatkan kemampuan negara atau karena percaya bahwa ancaman besar terhadap integritas teritorial negara mereka sendiri dapat terjadi melalui negara tetangga. Pencapaian tapal batas strategis yang menguntugkan sejak lama sudah menjadi tujuan jangka pendek tradisional dan untuk mencapainya banyak negara bersedia menggunakan sumber daya yang besar.
Desakan untuk mengejar nilai atas kepentingan ‘inti’ ini mengharuskan aktor lain dalam sistem itu mengambil sikap yang berbeda. Negara dengan tapal batas yang ditetapkan dengan baik, yang berkaitan dengan pembagian etnis, yang melindungi wilayah dan tertib sosial mereka melalui kebijakan pertahanan yang biasa tidak menggangu tetangga dekat mereka. Mereka yang mengusahakan tapal batas strategis atau kesatuan etnis yang lebih menguntungkan biasanya berbuat demikian dengan mengorbankan nilai dan kepentingan ‘inti’ tetangga mereka dan dengan demikian menciptakan konflik berbahaya. Konflik seperti itu mungkin tidak selalu menyebabkan kekerasan atau perang, karena penafsiran nilai ‘inti’ atau ‘kepentingan vital’ dapat berubah dibawah keaadaan yang berbeda.
2.      Tujuan Jangka Menengah
Karena keragaman tujuan jangka menengah, berguna membagi kategori ini ke dalam tiga tipe lebih lanjut. Tipe pertama, mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan dan kebutuhan perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional. Kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi tak dapat dicapai dengan kekuatan sendiri. Karena kebanyakan negara hanya mempunyai sumber daya, jasa administrasi dan ketrampilan teknis yang terbatas, negara harus berinteraksi dengan negara lain. Perdagangan, bantuan luar negeri, akses fasilitas komunikasi, sumber perbekalan dan pasar luar negeri bagi sebagian besar negara penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tipe kedua tujuan jangka menengah adalah meningkatkan prestise negara dalam sistem itu. Di masa lalu, tujuan ini terutama dilakukan melalui jalur diplomatik dan pameran kekuatan militer, tetapi di zama kita, prestise diukur dengan tingkat perkembangan industri dan ketrampilan ilmiah serta teknologi. Selain menanggapi tekanan dalam negeri bagi tingkat hidup yang lebih tinggi, elit politik negara berkembang yang peka sekali terhadap kemiskinan materi mungkin melaksanakan progam pembangunan yang besar terutama untuk meningkatkan prestise internasionalnya. Pembangunan telah menjadi salah satu tujuan nasional utama zaman kita dan diusahakan dengan melibatkan hampir semua sumber daya. Tujuan jangka menengah ini tidak mempunyai unsur waktu khusus, tetapi sebagian pemimpin masa kini di negara berkembang berharap dapat mulai mengejar negara-negara yang ekonominya lebih maju pada masa hidup mereka.
Kategori ketiga tujuan jangka menengah mencakup banyak bentuk perluasan diri atau imperalisme. Beberapa negara mengklaim wilayah tetangga sekalipun wilayah itu tidak memenuhi persyaratan militer atau kesamaan etnis yang penting. Perluasan wilayah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri terlepas dari apakah dia memenuhi atau tidak memenuhi kebutuhan strategis, ekonomi atau sosial. Negara lain tidak menduduki wilayah asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada bahan mentah, pasar dan rute perdagangan yang tidak dapat mereka peroleh melalui perdagangan biasa atau diplomasi. Pengendalian dan akses ekslusif mungkin diperoleh melalui kolonialiasasi, protektorat, ‘satelit’ atau ‘lingkup pengaruh’. Perluasan diri secara ideologis juga lazim dalam banyak bentuk, dimana wakil pemerintah berusaha mempromosikan nilai politik, ekonomi dan sosialnya sendiri diluar negeri atau ‘mentobatkan’ rakyat negara lain kedalam agama, budaya atau keyakinan politik tertentu.
3.      Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang adalah rencana, impian dan pandangan mengenai organisasi politik atau ideologi terakhir sistem internasioanal, aturan yang mengatur hubungan dalam sistem itu dan peran negara tertentu didalamnya. Perbedaan antara tujuan jangka menengah dan jangka panjang tidak hanya berhubungan dengan unsur waktu yang berlainan yang inhern didalamnya, juga ada perbedaan penting dalam lingkup. Dalam rangka mengejar tujuan jangka menengah, negara melakukan tekanan tertentu pada negara tertentu. Untuk mengejar tujuan jangka panjang, negara biasanya melancarkan tuntutan universal karena tujuannya tidak kurang dari membanguan kembali satu sistem internasional menyeluruh menurut rencana atau pandangan yang secara internasional dapat diterapkan.
Penguasaan kepulauan Paracel-Spratly oleh China memperlihatkan bahwa China berusaha untuk melindungi tujuan kebijakan luar negerinya, terutama tujuan jangka menengah. Kemajuan di bidang industri dan perdagangan menyebabkan kebutuhan akan sumber daya alam menjadi hal pokok yang tidak dapat dihindarkan oleh suatu negara. Dalam melakukan hal tersebut, China mengklaim kepemilikan wilayah kepulauan Paracel-Spratly tersebut.

D.      Hipotesa
Berdasar pada latar belakang dan perumusan masalah hingga penggunaan kerangka terori diatas, dapat ditarik beberapa hipotesis, sebagai jawaban sementara atas kepentingan China mengklaim kepulauan Paracel-Spratly sebagai salah satu wilayahnya antara lain :
1. China bermaksud memasukkan wilayah kepulauan Paracel-Spratly menjadi salah satu wilayahnya.
2. Kekayaan alam dan laut di wilayah tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam mendukung kegiatan ekonomi di China.
3. Letak Geografis Kepulauan Paracel-Spratly sangat strategis bagi China dalam bidang militer dan pelayaran terkait dalam konsep kekuasaan (power) dalam logika Hubungan Internasional.

E.       Tujuan Penelitian
1.      Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kepentingan China di kepulauan Paracel-Spratly di Laut China Selatan.
2.      Menjelaskan pengaruh hegemoni China sebagai superpower dunia, terutama setelah klaim China terhadap kepulauan Paracel-Spratly.
3.      Memberi gambaran dan referensi bagi para peneliti yang ingin mengkaji masalah yang sama dikemudian hari.
4.      Sebagai sarana implementasi teori-teori Hubungan Internasional dalam menjelaskan fenomena-fenomena Hubungan Internasional yang terjadi, sehingga memberikan kontribusi positif bagi perkembangan Ilmu Hubungan Internasional.
5.      Sebagai kelengkapan dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 

F.       Metode Penelitian
Dalam penelitian studi hubungan internasional diperlukan adanya suatu metodologi untuk mendapatkan pengetahuan atas studi yang dilakukan. Metodologi merupakan prosedur bagaimana pengetahuan tentang fenomena hubungan internasional itu diperoleh.[17] Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analisis. Metode deskriptif merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan apa, siapa dimana, kapan atau berapa.[18]
Metode ini merupakan prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan keadaan subjek penelitian berdasarkan data-data yang ada. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode Library Research atau Studi Pustaka dengan menggunakan data sekunder seperti buku, surat kabar, majalah, jurnal dan media lain yang dianggap relevan bagi penelitian ini.

G.      Jangkauan Penelitian
Untuk mempermudah dalam analisa masalah yang akan diteliti, jangkauan penelitian tentang skripsi dengan judul “Kepentingan China mengklaim Kepulauan Paracel-Spratly sebagai salah satu wilayahnya di Laut China Selatan”, penulis membatasi subjek penelitian pada kepentingan China sebagai negara pengklaim Kepulauan Paracel-Spratly. Jangkauan waktu penelitian dibatasi mulai tahun 2010 dimana Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, mengeluarkan pernyataan tentang adanya aturan yang mengikat seputar penyelesain kasus Konflik Kepulauan Paracel-Spratly yang melibatkan China, Taiwan, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam dan Malaysia.[19] Apabila ada pembahasan terhadap masalah-masalah di luar jangkauan penelitian, selama masih terdapat korelasi dan relevansi terhadap penelitian ini, akan penulis gunakan sebagai bahan pelengkap dari skripsi.

H.      Sistematika Penulisan
BAB I.  Membahas tentang gambaran umum mengenai skripsi, tujuan serta sasaran yang hendak dicapai penulis dengan penulisan skripsi ini. Bab ini juga memuat alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori, metode, jangkauan, dan sistematika penulisan dari skripsi yang ada.
BAB II. Menjelaskan tentang China secara umum dan kebijakan luar negeri yang selama ini diterapkan dalam hubungannya dengan negara lain.
BAB III. Menjelaskan tentang gambaran umum kepulauan Paracel-Spratly, baik dari letak geografis maupun kekayaan alam yang ada di dalamnya.
BAB IV. Membahas tentang kepentingan China di kepulauan Paracel-Spratly yang diklaim sebagai salah satu wilayahnya di Laut China Selatan.
BAB V. Berisi tentang kesimpulan umum dari semua bab yang ada dalam skripsi.

Daftar Pustaka
Buku
Donnelly, Jack. 2000. Realism and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press.
Holsti, K.J. 1988. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, diterjemahkan oleh M. Tahir Azhary. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kynge, James. 2007. Rahasia Sukses Ekonomi China. Bandung: Penerbit Mizan Media Utama.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Morgenthau, Hans J. 1991. Politik Antar Bangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Diterjemahkan oleh Cecep Sudrajat dengan judul asli Politics Among Nation.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1969. The International Relations Dictionary, USA: Holt, Rinehart and Winston Inc.
            Jurnal/Laporan
Ananthius A. Nugraha, Manuver Politik China dalam konflik Laut China Selatan, Jurnal Universitas Pertahanan Indonesia, diunduh dari http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=106&Itemid=309&limitstart=5 diakses 8 September 2012
Annual report to Congress, Military Power of China People’s Republic of China 2007, Office of the Secretary Defense, diunduh dari http://www.defense.gov/pubs/pdfs/070523-china-military-power-final.pdf diakses 29 September 2012
         
Website



[5] Ananthius A. Nugraha, Manuver Politik China dalam konflik Laut China Selatan, Jurnal Universitas Pertahanan Indonesia. Hal 58, diunduh dari http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=106&Itemid=309&limitstart=5 diakses 8 September 2012
[6] Ibid,. Hal 59.
[7] Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations, dikutip dari Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1994. Hal 116-117.
[8] Robert Jackson and Georg Sorensen, “Pengantar Studi Hubungan Internasional”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 88.
[9] Jack Donnelly, “Realism and International Relations”, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. Hal. 47
[10] Ibid,. Hal 49.
[11] Robert Jackson and Georg Sorensen, op. cit. Hal 94-95.
[13] Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008. Hal. 67 dikutip dari http://ml.scribd.com/doc/85325317/Teori-Konsep-Kepentingan-Nasional diakses 10 September 2012.
[14] Jack C. Plano and Roy Olton, The International Relations Dictionary, Holt Rinehart and Winston Inc, USA, 1969. Hal 58.
[15] K.J Holsti, Politik Internasional; kerangka untuk analisis, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1988. Hal 136.
[16] Ibid,. Hal 138.
[17] Mohtar Mas’oed, op. cit. Hal 2.
[18] Ibid., Hal 3.
Share:

0 Comment:

Posting Komentar

Monggo, Jika Anda Ingin Komentar, Tapi Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan.
Monggo, Jika Anda Ingin Kritik, Tapi Tolong Kritik Yang Membangun.

Total Pageviews

Theme Support