BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kepulauan
Paracel-Spratly merupakan sekumpulan pulau di sekitar Laut China Selatan.
Kepemilikan daerah ini masih dipersengkatan antara beberapa negara yang
mengklaim memiliki hak dalam kepemilikan gugusan pulau Paracel dan Spratly.
China, Taiwan dan 4 negara ASEAN, yaitu Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei,
sama-sama mengklaim kepemilikan sebagian atau semua wilayah yang ada di
kepulauan Paracel-Spratly
Perebutan
wilayah Paracel-Spratly dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang lebih luas
antara beberapa negara yang mengklaim kepemilikan wilayah tersebut. Pada tahun
1974, China mengambil pulau Paracel dari Vietnam yang menyebabkan beberapa
tentara Vietnam meninggal. Pada tahun 1988, kedua belah pihak kembali
berkonflik di seputar pulau Spratly yang menyebabkan sekitar 70 personil
Vietnam tewas, sedangkan dari pihak China sebanyak 18 personil tewas dalam
konflik tersebut. Konflik dalam skala kecil juga terjadi dalam sengketa
kepemilikan kepulauan Paracel-Spratly antara China, Vietnam, Filipina dan
Malaysia.[1]
China mendeklarasikan memiliki bagian terbesar dari
wilayah Laut China Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur
Hainan, provinsi paling selatan negara itu. Pihak China mengklaim pulau Paracel
dan Sratly berdasarkan pada alasan historis yang menyatakan bahwa pulau
Paracel-Spartly merupakan bagian dari China melalui sejarah ekspedisi laut
Dinasti Han pada tahun 110 M dan Dinasti Ming tahun 1403-1433 M.[2] China
mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan
Paracel dan Spratly sebagai bagian integral bangsa China. Pada tahun 1947 China
menerbitkan sebuah peta yang merinci klaim wilayahnya yang menyertakan kedua kepulauan
tersebut sebagai bagian wilayah China.
Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik China,
juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan
historis yang sama. Taiwan yang tidak mengakui sebagai bagian dari China
mengklaim sebagian kepulauan Paracel, mengingat letak geografisnya yang lebih
dekat dengan Taiwan daripada China.
Vietnam jelas menentang klaim peta China tersebut.
Vietnam berpendapat China tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua
kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti China dan Taiwan,
Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan
memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly
sejak abad ke-17.
Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang
kerap menjadi sengketa adalah Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau
terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan terdekat China. Klaim Filipina
berdasar pada United Nations Convention on the Law of
the Sea (UNCLOS) yang menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh
melebihi 200 mil laut (sekitar 321 km) dari garis pangkal pengukuran lebar laut
teritorial.
Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim memiliki
beberapa pulau kecil di gugus Spratly. Militer Malaysia telah menduduki tiga
pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki
bagian terselatan Spratly. Baik Malaysia dan Brunei Darussalam menggunakan
aturan dari Konvensi yang ditetapkan oleh PBB tentang batas laut.[3]
Gugusan Pulau Paracel-Spratly menyimpan berbagai
macam kekayaan alam yang melimpah. Menurut data yang dikutip dari US Energy
Information Administration (EIA), pihak China memperkirakan cadangan minyak
yang ada dalam wilayah tersebut mencapai sekitar 213 miliar barel[4],
10 kali lipat dari cadangan minyak Amerika Serikat. Sumber daya alam terbesar
yang dimiliki di kawasan itu adalah gas alam. Diperkirakan bahwa cadangan gas
alam sebesar 900 triliun kubik, jumlah yang setara dengan cadangan gas alam
yang dimiliki Qatar. Selain sumber daya alam, wilayah kepulauan Paracel-Spratly
kaya akan hasil laut.
Disamping itu, wilayah ini merupakan jalur pelayaran
Internasional yang sangat penting untuk kepentingan perdagangan dan militer. Jalur
ini sering disebut sebagai maritime
superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional
paling sibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu lintas supertanker dunia
berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda dan Lombok. Jumlah
supertanker yang berlayar melewati selat Malaka dan bagian barat daya Laut
China Selatan bahkan lebih dari tiga kali lalu lintas yang melewati terusan
Suez dan lebih dari lima kali lipatnya terusan Panama.[5]
Pelayaran komersil di Laut China Selatan di dominasi
oleh bahan mentah yang menuju negara- negara Asia Timur dan yang melewati Selat
Malaka dan kepulauan Spratly sebagian besar adalah kargo cari seperti minyak
mentah dan gas alam cair (LNG), sementara kargo kering kebanyakan batu bara dan
bijih besi. Setengah volume kargo yang melewati kepulauan Spratly adalah minyak
mentah dari Teluk Persia. Pengangkutan LNG melewati Laut China Selatan mewakili
dua pertiga dari perdagangan LNG seluruh dunia menuju Jepang, Korea dan Taiwan.[6]
Hasil kekayaan alam dan laut kepulauan
Paracel-Spratly menimbulkan keinginan dari sebagian negara untuk dapat
memilikinya, termasuk China. Negara Tiongkok tersebut mengklaim bahwa seluruh kepulauan
Paracel-Spratly merupakan wilayah China yang masuk dalam provinsi Hainan. Klaim
pihak China tersebut mencakup hampir sebagian besar wilayah Laut China Selatan.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas, dapat dilihat pokok permasalahan
yang mendasari lahirnya penelitian ini adalah :
Apa
kepentingan China dengan mengklaim kepulauan Paracel-Spratly sebagai salah satu
wilayahnya?
C.
Kerangka
Teori
Dalam menjelaskan suatu masalah dalam hubungan
internasional, maka diperlukan kerangka pemikiran yang dapat menjawab persoalan
tersebut. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa pendekatan teori atau konsep yang
dipakai dalam menjelaskan rumusan masalah, antara lain :
Pertama,
konsep power. Konsep power
(kekuasaan; kekuatan) menempati posisi yang istimewa dalam studi politik dan
hubungan internasional. Ilmuan dibidang ini sejak zaman Yunani kuno menganggap power adalah unsur utama tindakan
politik. Hans. J Morgenthau bahkan mendefinisikan politik, dalam negeri maupun
internasional, sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan. Kautilya, tokoh
negarawan India kuno yang menulis karya besar pada abad ke 4 SM, menafsirkan power sebagai “kepemilikan kekuatan” (bersifat atribut) yang berasal dari tiga
unsur: pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian. Dua puluh tiga abad
kemudian, Hans Morgenthau memilih mendefinisikan power sebagai suatu hubungan
antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pikiran dan tindakan aktor B (bersifat
hubungan). Jadi, power menurut Morgenthau,
“bisa terdiri dari apa
saja yang menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang atas orang lain
(dan itu) meliputi semua hubungan sosial yang mendukung tujuan (pengendalian)
itu, mulai dari kekerasan fisik sampai ke hubungan psikologis yang paling halus
yang dipakai oleh pikiran seseorang untuk mengendalikan pikiran orang lain.”[7]
Menurut Coulumbis dan Wolfe, mendefinisikan power
secara lebih luas, yaitu merujuk pada apa saja yang bisa menciptakan dan
mempertahankan pengendalian aktor A terhadap aktor B. Dalam hal ini, power
memiliki tiga unsur penting. Pertama, adalah daya paksa (force), yang bisa didefinisikan yang bisa didefinisikan sebagai
ancaman eksplisit atau penggunaan kekuatan militer, ekonomi, atau sarana
pemaksa lainnya oleh aktor A terhadap aktor B demi mencapai tujuan politik A.
Unsur kedua adalah pengaruh (influence),
yang bisa didefinisikan sebagai penggunaan alat-alat persuasi (tanpa kekerasan)
oleh aktor A demi menjamin agar perilaku aktor B sesuai dengan keinginan aktor
A. Unsur ketiga adalah wewenang (authority),
yaitu sikap tunduk sukarela aktor B pada arahan (nasehat, perintah) yang
diberikan oleh aktor A. Sikap tunduk ini muncul dari persepsi B tentang A,
misalnya penghormatan, solidaritas, kasih sayang, kedekatan, mutu kepemimpinan,
pengetahuan dan keahlian.
Coulumbis dan Wolfe juga memberi perhatian terhadap
kekuasaan sebagai tujuan dan kekuasaan sebagai sarana. Sebagian besar ilmuan
menganggap kekuasaan sebagai “sarana”. Artinya kemampuan untuk mengendalikan
perilaku orang lain adalah sarana untuk mencapai tujuan lain, yang mungkin
lebih tinggi atau berjangka lebih panjang. Kalau tujuan jangka panjang itu
meliputi nilai-nilai seperti perdamaian, keamanan, kemajuan nasional,
pembangunan ekonomi, penyebaran demokrasi atau penyebaran komunisme, maka power
dinggap penting sebagai “mata uang” (sarana)
untuk “membeli” nilai-nilai itu (tujuan).
Tetapi, ilmuan-ilmuan lain, terutama penganut realisme, memandang power sebagai
sarana sekaligus tujuan tindakan politik. Dengan kata lain, penganut realisme
menganggap tujuan-tujuan mesianisme (perdamaian, kemajuan atau kesejahteraan)
tidak mungkin diterapkan untuk jangka pendek dan karena itu tidak relevan
dengan proses politik yang sebenarnya, karena proses politik selalu
berorientasi pada tujuan jangka pendek. Menurut jalan pikiran ini (yang
menekankan pelestarian diri sebagai tujuan utama suatu negara) power, yang bisa “membeli” keamanan,
menjadi tujuan.
Untuk dapat memahami konsep power secara lebih detail, perlu dipahami juga bagaimana realisme
coba memandang dunia. Bagaimanapun juga, konsep power dalam hubungan internasional tidak dapat terlepas dari
pemikiran kaum realis. Berikut merupakan ide dan asumsi dasar kaum realis
adalah : (1) pandangan pesimis atas sifat manusia; (2) keyakinan bahwa hubungan
internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada
akhirnya diselesaikan melalui perang; (3) menjunjung tinggi nilai-nilai
keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; (4) skeptisisme dasar bahwa
terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan
politik domestik.[8]
Dalam pemikiran kaum realis, manusia dicirikan sebagai
makhluk yang selalu cemas terhadap terhadap keselamatan dirinya dalam
hubungannya dengan yang lain. Kondisi seperti diatas juga dibawa dalam ranah
hubungan internasional. Suatu negara, dalam terminologi realis, akan selalu
terancam dengan negara lain.
“Nearly all of our
realist paradigms place fear, honor and interest at the core of human nature
and state motivation”[9]
Dari
pernyataan diatas terlihat jelas bahwa kaum realis menganggap bahwa rasa
kecemasan dan kepentingan diri selalu menyelimuti kehendak manusia dan negara.
Negara pada dasarnya mencari kekuatan atau hegemoni
dalam hubungan interaksinya dengan negara lain. Mereka terus-menerus berjuang
untuk menjadi yang terkuat dibandingkan yang lain, termasuk dalam logika
hubungan internasional. Pandangan kaum realis berasumsi bahwa politik dunia
berkembang atas dasar anarki international. Anarki, bagaimanapun juga, menjadi
bagian penting dalam menjelaskan dominasi kekuatan politik (power politics) dalam hubungan internasional.[10]
Negara menjadi aktor utama dalam hubungan internasional.
Keinginan untuk berkuasa (the will to power) menjadi alur berpikir dalam paradigma realis.
Hampir setiap negara yang ada didunia, mempunyai keinginan untuk mendapatkan ‘power’ tersebut. Konsep power disini
dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, langsung atau
tidak langsung, agar alur pemikirannya sesuai dengan kehendak pemegang
kekuasaan.
Menurut Machiavelli, kekuasaan dan penipuan adalah
dua alat penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri. Nilai politik
tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu kemerdekaan. Tanggung jawab utama
penguasa adalah selalu mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya
dan menjamin kelangsungan hidupnya. Teori realis klasik hubungan internasional
Machiavelli merupakan teori kelangsungan hidup negara. Pelaksanaan kebijakan luar negeri merupakan
aktifitas instrumental atau “Machiavellian”
berdasarkan kalkulasi kekuatan dan kepentingan suatu negara terhadap kekuatan
dan kepentingan musuh dan pesaing.[11]
Kedua,
konsep kepentingan nasional. Kepentingan Nasional atau National Interest sangat berhubungan erat dengan teori realis. Dalam pendekatan teori realis,
kepentingan nasional dapat diartikan sebagai unitary actor yang penekanannya pada peningkatan national power (kekuatan nasional) untuk
mempertahankan keamanan nasional dan proses keberlangsungan hidup (survive) dari negara tersebut.[12] Konsep
keberlangsungan hidup suatu negara menjadi sesuatu yang diperjuangkan dalam
kepentingan nasional.
Konsep kepentingan nasional (interest) yang didefinisikan dalam istilah ‘power’, menurut Morgenthau, berada diantara akal, nalar atau ‘reason’ yang berusaha untuk memahami
politik internasional dengan fakta-fakta yang harus dimengerti dan dipahami.
Dengan kata lain, power merupakan
instrumen penting untuk mencapai kepentingan nasional.[13]
Morgenthau berpendapat bahwa strategi diplomasi
didasarkan pada kepentingan nasional suatu negara. Kepentingan nasional
tersebut digunakan untuk mendapatkan ‘power’
yang bisa digunakan untuk membentuk dan mempertahankan pengendalian atas negara
lain. Dengan adanya power, maka suatu
negara mempunyai kedudukan yang lebih, terutama dalam bidang diplomasi.
Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui cara preventif ataupun kerjasama (cooperation). Karena itu, kekuatan
nasional (national power) dan kepentingan
nasional dianggap sebagai sarana sekaligus tujuan dalam proses keberlangsungan
hidup (survive) suatu negara dalam
politik internasional.
Menurut Jack C. Plano, terdapat beberapa elemen
kekuatan nasional, baik yang bersifat alam maupun buatan. Elemen tersebut
meliputi geografi (posisi wilayah), sumber daya alam, populasi penduduk,
kemajuan industri, sistem transportasi dan komunikasi, sistem pendidikan,
militer, lingkungan politik - ekonomi - sistem sosial, kualitas dan kemampuan
diplomasi dan yang terakhir adalah moral penduduk.[14] Dari
elemen kekuatan nasional suatu bangsa, maka bangsa tersebut dapat mewujudkan
kepentingan nasional (national interest)
dari negara tersebut.
Salah satu kepentingan dan kekuatan nasional suatu
bangsa adalah masalah ekonomi. Ekonomi menjadi isu kepentingan nasional yang
mendapat perhatian besar bagi sebagian negara karena mempengaruhi bagaimana
proses keberlangsungan hidup negara tersebut disamping menjadi salah satu dari
instrumen kekuatan nasional suatu negara. China yang memiliki tingkat ekonomi
yang tinggi, harus menjaga segala kebutuhan ekonominya agar dapat tetap stabil,
termasuk instrumen pendukungnya seperti minyak mentah dan gas alam. Kekayaan
alam tersebut menjadi hal yang sangat penting bagi negara China. Suatu
pemerintahan akan mempergunakan berbagai cara untuk melindungi kepentingan
ekonomi negara tersebut, termasuk menggunakan cara-cara kekerasan, tidak
terkecuali China.
Ketiga,
pendekatan tujuan kebijakan luar negeri. Menurut Morgenthau, terdapat hubungan (connection) logis antara kepentingan
nasional dan kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri saling terkait dengan
kepentingan nasionalnya. Dalam hubungan internasional, kondisi tersebut tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
Setiap negara pasti mempunyai kebutuhan dan tujuan
yang merupakan cerminan dari kebutuhan dan tujuan masyarakat yang hidup dalam
negara tersebut. Sebagian besar pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara
terkait dengan pemecahan masalah sehari-hari yang muncul, baik di dalam dan
luar negeri. Namun, kebanyakan pemerintah juga mempunyai beberapa tujuan yang
ingin dicapai melalui penataan berbagai tindakan untuk mencapai tujuan
tersebut, termasuk tujuan yang menyangkut masalah-masalah khusus (misal,
konflik) ataupun masalah-masalah yang sudah umum.[15]
Istilah ‘kepentingan nasional’ sendiri sering salah
diartikan sebagai alat untuk menganalisis tujuan bangsa. Kenyataannya, telah
terjadi perdebatan ilmiah berkepanjangan mengenai arti konsep ini, namun hanya
sedikit kesepakatan yang dicapai. Walaupun mungkin terdapat kepentingan
nasional yang bersifat tetap seperti pemeliharan diri yang disepakati banyak
orang, namun tidak seorang pun dapat mengklaim dengan pasti bahwa setiap tujuan
khusus atau tujuan lainnya merupakan kepentingan nasional.
Poin kedua yang patut digarisbawahi mengenai konsep
tujuan kebijakan luar negeri adalah bahwa pemerintah sering mengejar sejumlah
tujuan yang bertentangan pada waktu yang sama. Tugas pembuat kebijakan adalah
menggolongkan dan memilih tujuan-tujuan yang bertentangan dan memutuskan mana
yang dapat dicapai pada serangkaian keadaan khusus.[16]
Dilihat dari nilai, unsur waktu dan jenis tuntutan
yang diletakkan pada konsep tujuan kebijakan luar negeri, maka dapat
dikategorisasikan menjadi berikut :
1.
Kepentingan dan Nilai ‘Inti’
Kepentingan
dan nilai ‘inti’ dapat digambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk
mencapainya kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya.
Nilai dan kepentingan ini biasanya dikemukakan dalam bentuk asas-asas pokok
kebijakan luar negeri dan menjadi keyakinan yang diterima masyarakat tanpa
sikap kritis. Kepentingan dan nilai ‘inti’ seringkali dihubungkan dengan
pemeliharaan diri suatu unit politik. Kepentingan dan nilai inti ini merupakan
tujuan jangka pendek, karena tujuan lain jelas tak dapat dicapai apabila unit
politik yang mengejarnya tidak mempertahankan eksistensinya sendiri. Definisi
yang tepat dari nilai atau kepentingan ‘inti’ di negara tertentu tergantung
pada sikap mereka yang membuat kebijakan. Sekalipun demikian, kebanyakan
pembuat kebijakan mengira bahwa tujuan yang paling utama dari kebijakan luar
negeri adalah menjamin kedaulatan dan kemerdekaan wilayah nasional dan
mengekalkan sistem politik, sosial, dan ekonomi tertentu berdasarkan wilayah
itu.
Beberapa
pemerintah menempatakan nilai yang sama tinggi pada pengendalian atau
pertahanan wilayah tetangga, karena kawasan ini didiami oleh penduduk yang
secara etnis bersaudara atau mempunyai sumber daya nasional seperti tenaga
buruh dan bahan mentah yang dapat meningkatkan kemampuan negara atau karena
percaya bahwa ancaman besar terhadap integritas teritorial negara mereka
sendiri dapat terjadi melalui negara tetangga. Pencapaian tapal batas strategis
yang menguntugkan sejak lama sudah menjadi tujuan jangka pendek tradisional dan
untuk mencapainya banyak negara bersedia menggunakan sumber daya yang besar.
Desakan
untuk mengejar nilai atas kepentingan ‘inti’ ini mengharuskan aktor lain dalam
sistem itu mengambil sikap yang berbeda. Negara dengan tapal batas yang
ditetapkan dengan baik, yang berkaitan dengan pembagian etnis, yang melindungi
wilayah dan tertib sosial mereka melalui kebijakan pertahanan yang biasa tidak
menggangu tetangga dekat mereka. Mereka yang mengusahakan tapal batas strategis
atau kesatuan etnis yang lebih menguntungkan biasanya berbuat demikian dengan
mengorbankan nilai dan kepentingan ‘inti’ tetangga mereka dan dengan demikian
menciptakan konflik berbahaya. Konflik seperti itu mungkin tidak selalu
menyebabkan kekerasan atau perang, karena penafsiran nilai ‘inti’ atau
‘kepentingan vital’ dapat berubah dibawah keaadaan yang berbeda.
2.
Tujuan Jangka Menengah
Karena
keragaman tujuan jangka menengah, berguna membagi kategori ini ke dalam tiga
tipe lebih lanjut. Tipe pertama, mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan
dan kebutuhan perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional. Kesejahteraan
sosial dan pembangunan ekonomi tak dapat dicapai dengan kekuatan sendiri.
Karena kebanyakan negara hanya mempunyai sumber daya, jasa administrasi dan ketrampilan
teknis yang terbatas, negara harus berinteraksi dengan negara lain.
Perdagangan, bantuan luar negeri, akses fasilitas komunikasi, sumber perbekalan
dan pasar luar negeri bagi sebagian besar negara penting untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Tipe
kedua tujuan jangka menengah adalah meningkatkan prestise negara dalam sistem
itu. Di masa lalu, tujuan ini terutama dilakukan melalui jalur diplomatik dan
pameran kekuatan militer, tetapi di zama kita, prestise diukur dengan tingkat
perkembangan industri dan ketrampilan ilmiah serta teknologi. Selain menanggapi
tekanan dalam negeri bagi tingkat hidup yang lebih tinggi, elit politik negara
berkembang yang peka sekali terhadap kemiskinan materi mungkin melaksanakan
progam pembangunan yang besar terutama untuk meningkatkan prestise
internasionalnya. Pembangunan telah menjadi salah satu tujuan nasional utama
zaman kita dan diusahakan dengan melibatkan hampir semua sumber daya. Tujuan
jangka menengah ini tidak mempunyai unsur waktu khusus, tetapi sebagian pemimpin
masa kini di negara berkembang berharap dapat mulai mengejar negara-negara yang
ekonominya lebih maju pada masa hidup mereka.
Kategori
ketiga tujuan jangka menengah mencakup banyak bentuk perluasan diri atau
imperalisme. Beberapa negara mengklaim wilayah tetangga sekalipun wilayah itu
tidak memenuhi persyaratan militer atau kesamaan etnis yang penting. Perluasan
wilayah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri terlepas dari apakah dia memenuhi
atau tidak memenuhi kebutuhan strategis, ekonomi atau sosial. Negara lain tidak
menduduki wilayah asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada bahan
mentah, pasar dan rute perdagangan yang tidak dapat mereka peroleh melalui
perdagangan biasa atau diplomasi. Pengendalian dan akses ekslusif mungkin
diperoleh melalui kolonialiasasi, protektorat, ‘satelit’ atau ‘lingkup
pengaruh’. Perluasan diri secara ideologis juga lazim dalam banyak bentuk,
dimana wakil pemerintah berusaha mempromosikan nilai politik, ekonomi dan
sosialnya sendiri diluar negeri atau ‘mentobatkan’ rakyat negara lain kedalam
agama, budaya atau keyakinan politik tertentu.
3.
Tujuan Jangka Panjang
Tujuan
jangka panjang adalah rencana, impian dan pandangan mengenai organisasi politik
atau ideologi terakhir sistem internasioanal, aturan yang mengatur hubungan
dalam sistem itu dan peran negara tertentu didalamnya. Perbedaan antara tujuan
jangka menengah dan jangka panjang tidak hanya berhubungan dengan unsur waktu
yang berlainan yang inhern didalamnya, juga ada perbedaan penting dalam
lingkup. Dalam rangka mengejar tujuan jangka menengah, negara melakukan tekanan
tertentu pada negara tertentu. Untuk mengejar tujuan jangka panjang, negara
biasanya melancarkan tuntutan universal karena tujuannya tidak kurang dari
membanguan kembali satu sistem internasional menyeluruh menurut rencana atau
pandangan yang secara internasional dapat diterapkan.
Penguasaan kepulauan Paracel-Spratly oleh China
memperlihatkan bahwa China berusaha untuk melindungi tujuan kebijakan luar
negerinya, terutama tujuan jangka menengah. Kemajuan di bidang industri dan
perdagangan menyebabkan kebutuhan akan sumber daya alam menjadi hal pokok yang
tidak dapat dihindarkan oleh suatu negara. Dalam melakukan hal tersebut, China
mengklaim kepemilikan wilayah kepulauan Paracel-Spratly tersebut.
D.
Hipotesa
Berdasar
pada latar belakang dan perumusan masalah hingga penggunaan kerangka terori diatas,
dapat ditarik beberapa hipotesis, sebagai jawaban sementara atas kepentingan
China mengklaim kepulauan Paracel-Spratly sebagai salah satu wilayahnya antara
lain :
1.
China bermaksud memasukkan wilayah kepulauan Paracel-Spratly menjadi salah satu
wilayahnya.
2.
Kekayaan alam dan laut di wilayah tersebut menjadi hal yang sangat penting
dalam mendukung kegiatan ekonomi di China.
3.
Letak Geografis Kepulauan Paracel-Spratly sangat strategis bagi China dalam
bidang militer dan pelayaran terkait dalam konsep kekuasaan (power) dalam logika Hubungan Internasional.
E.
Tujuan
Penelitian
1.
Penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan kepentingan China di kepulauan Paracel-Spratly di
Laut China Selatan.
2.
Menjelaskan pengaruh
hegemoni China sebagai superpower dunia, terutama setelah klaim China terhadap
kepulauan Paracel-Spratly.
3.
Memberi gambaran dan
referensi bagi para peneliti yang ingin mengkaji masalah yang sama dikemudian
hari.
4.
Sebagai sarana
implementasi teori-teori Hubungan Internasional dalam menjelaskan
fenomena-fenomena Hubungan Internasional yang terjadi, sehingga memberikan
kontribusi positif bagi perkembangan Ilmu Hubungan Internasional.
5.
Sebagai kelengkapan
dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
F.
Metode
Penelitian
Dalam penelitian studi hubungan internasional
diperlukan adanya suatu metodologi untuk mendapatkan pengetahuan atas studi
yang dilakukan. Metodologi merupakan prosedur bagaimana pengetahuan tentang
fenomena hubungan internasional itu diperoleh.[17]
Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analisis. Metode deskriptif
merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan apa, siapa dimana, kapan atau berapa.[18]
Metode ini merupakan prosedur pemecahan masalah yang
diteliti dengan menggambarkan keadaan subjek penelitian berdasarkan data-data
yang ada. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode Library Research atau Studi Pustaka
dengan menggunakan data sekunder seperti buku, surat kabar, majalah, jurnal dan
media lain yang dianggap relevan bagi penelitian ini.
G.
Jangkauan
Penelitian
Untuk mempermudah dalam analisa masalah yang akan
diteliti, jangkauan penelitian tentang skripsi dengan judul “Kepentingan China
mengklaim Kepulauan Paracel-Spratly sebagai salah satu wilayahnya di Laut China
Selatan”, penulis membatasi subjek penelitian pada kepentingan China sebagai
negara pengklaim Kepulauan Paracel-Spratly. Jangkauan waktu penelitian dibatasi
mulai tahun 2010 dimana Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton,
mengeluarkan pernyataan tentang adanya aturan yang mengikat seputar penyelesain
kasus Konflik Kepulauan Paracel-Spratly yang melibatkan China, Taiwan, Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam dan Malaysia.[19]
Apabila ada pembahasan terhadap masalah-masalah di luar jangkauan penelitian,
selama masih terdapat korelasi dan relevansi terhadap penelitian ini, akan
penulis gunakan sebagai bahan pelengkap dari skripsi.
H.
Sistematika
Penulisan
BAB I. Membahas tentang gambaran umum mengenai
skripsi, tujuan serta sasaran yang hendak dicapai penulis dengan penulisan
skripsi ini. Bab ini juga memuat alasan pemilihan judul, latar belakang
masalah, rumusan masalah, kerangka teori, metode, jangkauan, dan sistematika
penulisan dari skripsi yang ada.
BAB II.
Menjelaskan tentang China secara umum dan kebijakan luar negeri yang selama ini
diterapkan dalam hubungannya dengan negara lain.
BAB III.
Menjelaskan tentang gambaran umum kepulauan Paracel-Spratly, baik dari letak
geografis maupun kekayaan alam yang ada di dalamnya.
BAB IV.
Membahas tentang kepentingan China di kepulauan Paracel-Spratly yang diklaim
sebagai salah satu wilayahnya di Laut China Selatan.
BAB V.
Berisi tentang kesimpulan umum dari semua bab yang ada dalam skripsi.
Daftar Pustaka
Buku
Donnelly, Jack. 2000. Realism and International Relations. Cambridge:
Cambridge University Press.
Holsti, K.J. 1988. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, diterjemahkan oleh M.
Tahir Azhary. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional, diterjemahkan
oleh Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kynge,
James. 2007. Rahasia Sukses Ekonomi
China. Bandung: Penerbit Mizan Media Utama.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES.
Morgenthau, Hans J.
1991. Politik Antar Bangsa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Diterjemahkan oleh Cecep Sudrajat dengan judul asli Politics Among Nation.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1969. The International Relations Dictionary,
USA: Holt, Rinehart and Winston Inc.
Jurnal/Laporan
Ananthius
A. Nugraha, Manuver Politik China dalam
konflik Laut China Selatan, Jurnal Universitas Pertahanan Indonesia,
diunduh dari http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=106&Itemid=309&limitstart=5
diakses 8 September 2012
Annual
report to Congress, Military Power of
China People’s Republic of China 2007, Office of the Secretary Defense,
diunduh dari http://www.defense.gov/pubs/pdfs/070523-china-military-power-final.pdf
diakses 29 September 2012
Website
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict.shtml
diakses 8 September 2012
http://www.eia.gov/countries/regions-topics.cfm?fips=SCS
diakses 8 September 2012
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=303630
diakses 29 September 2012
http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=5761
diakses 8 September 2012
[1] http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict.shtml
diakses 8 September 2012
[2] http://www.globalsecurity.org/military/world/war/spratly-claims.htm
diakses 8 September 2012
[5] Ananthius A. Nugraha, Manuver
Politik China dalam konflik Laut China Selatan, Jurnal Universitas Pertahanan
Indonesia. Hal 58, diunduh dari http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=106&Itemid=309&limitstart=5
diakses 8 September 2012
[6] Ibid,. Hal 59.
[7] Hans J. Morgenthau, Politics
Among Nations, dikutip dari Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1994. Hal 116-117.
[8] Robert Jackson and Georg Sorensen, “Pengantar
Studi Hubungan Internasional”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 88.
[9] Jack Donnelly, “Realism and
International Relations”, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. Hal.
47
[10] Ibid,. Hal 49.
[11] Robert Jackson and Georg Sorensen, op.
cit. Hal 94-95.
[12] Diambil dari http://ml.scribd.com/doc/85325317/Teori-Konsep-Kepentingan-Nasional
diakses 10 September 2012.
[13] Aleksius Jemadu, Politik Global
dalam Teori dan Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008. Hal. 67 dikutip dari
http://ml.scribd.com/doc/85325317/Teori-Konsep-Kepentingan-Nasional
diakses 10 September 2012.
[14] Jack C. Plano and Roy Olton, The
International Relations Dictionary, Holt Rinehart and Winston Inc, USA,
1969. Hal 58.
[15] K.J Holsti, Politik
Internasional; kerangka untuk analisis, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1988.
Hal 136.
[16] Ibid,. Hal 138.
[18] Ibid., Hal 3.
[19] Dikutip dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict.shtml
diakses 8 September 2012
0 Comment:
Posting Komentar
Monggo, Jika Anda Ingin Komentar, Tapi Tolong Gunakan Bahasa Yang Sopan.
Monggo, Jika Anda Ingin Kritik, Tapi Tolong Kritik Yang Membangun.